Apakah Muhammadiyah merasa lelah mendidik bangsa? Sebagai sebuah organisasi, ia tak bisa merasa lelah. Muhammadiyah adalah realitas intersubjektif. Pertanyaannya bisa kita ganti. Apakah Pimpinan Muhammadiyah merasa lelah mendidik bangsa? Tentu. Tapi itulah passion. Itulah gairah. Itulah yang justru membuat mereka merasa hidup. Mereka buang jauh-jauh rasa lelah itu.
Muhammadiyah memang telah mendidik bangsa ini. Sejak awal berdirinya. Saat itu, Ahmad Dahlan, sang pendiri, meletakkan pondasi pendidikan Islam modern. Perpaduan antara model pendidikan Islam klasik (pesantren) dengan model pendidikan Barat. Jauh lebih daripada itu, ia meletakkan pondasi-pondasi pemikiran Islam modernis. Islam yang bersenyawa dengan kemajuan dan keutamaan hidup serta nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ki Bagus Hadikusumo, tiga dekade kemudian, menjadi tokoh kunci kompromi penghapusan tujuh kata Pancasila menjadi sila pertama yang dewasa ini kita kenal. Ia menjadi tokoh yang aktif mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sekitar tiga dekade kemudian, Pak AR, tokoh zuhud nan sederhana itu, begitu dekat dengan Orde Baru. Yang orang banyak lihat, Muhammadiyah mendapatkan banyak bantuan dari Soeharto. Tapi, tak banyak orang yang melihat bahwa kedekatan Pak AR tidak membuat lidahnya kelu. Tidak membuat Pak AR mati karena ‘dipangku’ oleh model politik orang Jawa. Pak AR, sejak sebelum tahun 90, sudah matur kepada Soeharto. Untuk tidak memperpanjang masa jabatan. Bahkan, nasehat itu disampaikan dua kali secara begitu personal. Jauh sebelum kasak-kusuk suksesi kepemimpinan nasional digaungkan oleh tokoh Muhammadiyah selanjutnya, Amien Rais. Pak AR sudah melihat bahaya itu. Bahaya akan kepemimpinan yang terlalu lama. Pak AR mafhum betul, bahwa power tend to corrupt (kekuasaan itu condong pada budaya yang korup). Maka, sebagai sahabat, Pak AR tidak ingin Soeharto jatuh ke dalam lubang itu. Bahwa apa yang terjadi kemudian begitu berbeda, itu lain soal.
Muhammadiyah tak lelah mendidik bangsa. Di tahun 2019, di tengah arus polarisasi yang begitu besar, Muhammadiyah tak goyah walau sejenak. Tak bergeser walau sejengkal. Konsistensi pada netralitas dilakukan dengan begitu kokoh oleh para pimpinannya. Sikap Muhammadiyah ini dapat kita artikan bahwa Muhammadiyah, sekali lagi, tidak ingin larut dalam segregasi, lebih-lebih politik partisan.
Di 2024, Muhammadiyah kembali melakukan terobosan yang begitu apik. Dialog Terbuka dengan semua kontestan Capres – Cawapres merupakan upaya pendidikan politik dalam rangka mendidik bangsa supaya tak lepas dari relnya. Ketika masyarakat mulai terpecah, kendati perpecahannya mungkin tidak akan separah 2019, Muhammadiyah memilih untuk berdiri di tengah. Menjaga jarak yang sama dengan semua kontestan. Menjadi penyambung dan mediator jika terjadi segregasi.
Muhammadiyah memandang sama semua kontestan. Maka semua diundang. Semua diberikan waktu untuk bicara tentang kebangsaan, lalu diuji gagasannya oleh para ahli di bidang masing-masing. Muhammadiyah ingin mengajarkan, bahwa memilih orang harus berdasarkan pada gagasannya. Bukan berdasarkan gimik-gimik politik apalagi berdasarkan amplop barang seratus dua ratus ribu.