Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan, menegaskan persyarikatan bersikap netral aktif dalam momentum pemilihan umum 2024 ini, baik pada pemilihan umum legislatif (pileg) maupun pemilihan umum presiden (pilpres).
Netral maknanya persyarikatan tidak dalam posisi mendukung para calon yang berlaga dalam pemilu ini. Aktif artinya Muhammadiyah memberi kebebasan kepada warganya untuk memilih para kandidat sesuai pilihan nurani masing-masing. PP Muhammadiyah juga memberi kesempatan kepada kader yang potensial untuk terlibat aktif dalam proses pemilu, baik sebagai kandidat maupun sebagai tim sukses. Dengan catatan mereka tidak membawa nama persyarikatan saat melakukan kerja-kerja politik praktis itu. Bagi pimpinan Muhammadiyah dari tingkat pusat hingga ranting, termasuk pengelola amal usaha Muhammadiyah, yang terlibat politik praktis pemilu harus non-aktif dari Muhammadiyah selama pesta demokrasi berlangsung. Keterlibatan mereka tidak atas rekomendasi persyarikatan melainkan sebagai iktikad baik para kader untuk mewujudkan nilai-nilai demokasi yang baik di bumi Indonesia.
Aktif juga berarti Muhammadiyah akan memposisikan diri sebagai penjaga moral untuk terus menggaungkan seruan-seruan etik agar pemilu berlangsung secara beradab dan beretika. Seruan ini sebagai bagian tanggung jawab moral masyarakat sipil terhadap proses demokrasi yang amat penting di Indonesia ini. Sebagai salah satu bentuk netral aktif itu adalah menggelar dialog dengan ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang telah berlangsung di Solo, Surabaya dan Jakarta beberapa waktu lalu. Dialog publik ini yang mendapatkan apresiasi masyarakat luas.
Peran penjaga moral Muhammadiyah ini sangat penting karena nada-nadanya pemilu ini makin jauh dari perspektif idealitas demokrasi. Pesta demokrasi yang mestinya menjadi panggung demokrasi yang sesungguhnya menjelma menjadi “pesta” sekadar untuk melanggengkan kekuasaan para kandidat dan kelompoknya. Suksesi kepemimpinan yang seharusnya menjadi ajang memilih pemimpin terbaik untuk Indonesia ke depan, tampaknya masih jauh dari yang kita harapkan. Debat para capres dan cawapres yang seharusnya menjadi potret kualitas calon pemimpin, hanya menjadi tontotan panggung semata. Debat bukan untuk menemukan titik temu kebenaran bagaimana mengelola Indonesia masa depan, tapi sekadar menunjukkan siapa “penguasa” panggung dengan saling “menundukkan” lawan debat. Sungguh debat yang kehilangan substansi.
Cendekiawan Muhammadiyah, Sukidi, bahkan menyebut pemilu kali ini demokrasi berada di ujung kematian. Melalui artikel yang dimuat di harian Kompas beberapa hari lalu, doktor lulusan Harvard University ini menyebutkan pemilu 2024 ditandai kemerosotan demokrasi yang bergerak ke ujung kematian. Dia mengatakan dua hal utama dalam demokrasi, yakni toleransi dan kebebasan tidak diperlakukan secara adil dan setara. Persaingan politik pun terpolarisasi antara mereka yang “bersama penguasa” dan “melawan penguasa”. Kelompok yang loyal “bersama penguasa” memperoleh hak keistimewaan politik, termasuk hak toleransi dan kebebasan. Namun, hak itu tidak berlaku bagi mereka yang tidak loyal kepada penguasa. Sukidi melanjutkan, politik ketakutan, intimidasi, dan kriminalisasi menjadi senjata ampuh bagi penguasa otokratik untuk menekan mereka yang berani “melawan penguasa”.
Tak Bisa Diam
Dalam situasi karut marut demokrasi seperti ini, sebagai masyarakat sipil, Muhammadiyah tidak boleh tinggal diam. Persyarikatan mesti vokal mengoreksi praktik-praktik buruk pemilu. Para kader persyarikatan yang terlibat aktif dalam proses pemilu harus bisa menjadi garda depan untuk menunjukkan praktik politik yang berkemajuan. Kader persyarikatan tidak boleh larut dalam permainan politik yang kumuh ini. Buat apa kader terjun di panggung politik kalau tidak mampu (berani?) menyuarakan kebenaran? Para kader Muhammadiyah diharapkan bisa membawa pesta demokrasi ini menjadi panggung untuk ber-fastabiqul khoirot, atau berlomba-lomba untuk kebaikan melalui jalur politik. Mampu membawa pemilu—dalam perspektif tokoh teori kritis Jurgen Habermas—menjadi demokrasi secara deliberatif. Sebuah demokrasi yang benar-benar melibatkan wacana publik secara partisipatif dan setara. Demokrasi yang membuka ruang keterlibatan publik secara luas tanpa intervensi penguasa.
Demokrasi yang sesungguhnya bukan sekadar demokrasi prosedural. Asal ada pemilu tapi menanggalkan substansi. Itu jauh dari cukup. Demokrasi melalui pemilu mestinya bisa menjadi demokrasi yang punya “makna”. Dalam pandangan filsuf Martin Heidegger, “makna” akan dapat kita temukan ketika mampu melihat kedalaman dari hal yang bersifat permukaan. Ini artinya demokasi yang bermakna adalah demokrasi yang autentik berbasis nilai-nilai.
Melihat situasi politik di Tanah Air, tugas Muhammadiyah sebagai penjaga moral ini tidak ringan. Tapi itu tidak ada pilihan lain. Persyarikatan harus melakukan hal itu demi tercapainya pemilu yang berkemajuan. Bukan pemilu asal-asalan.
Semoga….