• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Berkemajuan
  • Home
    • Home – Layout 1
    • Home – Layout 2
    • Home – Layout 3
    • Home – Layout 4
    • Home – Layout 5
  • News

    KSM Mattiro Deceng Dorong Edukasi Pengelolaan Sampah di Soppeng Lewat TPS 3R dan Media Sosial

  • Insight

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

    Mengenal Ekonomi Islam

    Awal Bukan Akhir, Menerobos Dinding Waktu

  • Tajdid
    • All
    • Ekonomi
    • Politik
    • Sosial

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

    KSM Mattiro Deceng Dorong Edukasi Pengelolaan Sampah di Soppeng Lewat TPS 3R dan Media Sosial

     Aksioma Dasar Ekonomi Islam

    Mengenal Ekonomi Islam

    Bentara Budaya dalam Bingkai Muhammadiyah: Menjaga Tradisi, Merawat Peradaban

    Sikap dan Langkah Umat Islam di Tahun Politik

    Trending Tags

    • Penelitian
    • Humaniora
    • Moderasi
    • Kabarmu
    • Risalah
  • Artikel

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

     Aksioma Dasar Ekonomi Islam

    Mengenal Ekonomi Islam

    Muhammadiyah Harus Dorong Pemilu Menjadi Bermakna…

    Membangun Kesetaraan Hubungan Guru dan Siswa dalam Belajar

    Tips Menghadapi Psikotes

  • Infografis
  • Risalah
No Result
View All Result
  • Home
    • Home – Layout 1
    • Home – Layout 2
    • Home – Layout 3
    • Home – Layout 4
    • Home – Layout 5
  • News

    KSM Mattiro Deceng Dorong Edukasi Pengelolaan Sampah di Soppeng Lewat TPS 3R dan Media Sosial

  • Insight

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

    Mengenal Ekonomi Islam

    Awal Bukan Akhir, Menerobos Dinding Waktu

  • Tajdid
    • All
    • Ekonomi
    • Politik
    • Sosial

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

    KSM Mattiro Deceng Dorong Edukasi Pengelolaan Sampah di Soppeng Lewat TPS 3R dan Media Sosial

     Aksioma Dasar Ekonomi Islam

    Mengenal Ekonomi Islam

    Bentara Budaya dalam Bingkai Muhammadiyah: Menjaga Tradisi, Merawat Peradaban

    Sikap dan Langkah Umat Islam di Tahun Politik

    Trending Tags

    • Penelitian
    • Humaniora
    • Moderasi
    • Kabarmu
    • Risalah
  • Artikel

    “Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

     Aksioma Dasar Ekonomi Islam

    Mengenal Ekonomi Islam

    Muhammadiyah Harus Dorong Pemilu Menjadi Bermakna…

    Membangun Kesetaraan Hubungan Guru dan Siswa dalam Belajar

    Tips Menghadapi Psikotes

  • Infografis
  • Risalah
No Result
View All Result
berkemajuan.id
No Result
View All Result
Home Berita

Gelar Haji & Hajjah, Perlukah?

Sholahuddin by Sholahuddin
July 11, 2024
Share on FacebookShare on Twitter

“Siap Pak Haji,” demikian tanggapan teman dalam Whatsapp Group (WAG) ketika menanggapi postingan saya. Di WAG yang lain, ada juga beberapa yang memanggilku “Pak Haji” tersebut.

Panggilan itu, mungkin karena ingin menghargai saya yang baru saja selesai menunaikan rukun Islam kelima itu. Esai ini saya tulis saat perjalanan dari Makkah ke Madinah. Insya Allah, satu pekan lagi, pulang ke Tanah Air, tepatnya 19 Juli 2024 sore atau malam sudah sampai rumah.

Rasanya, bagaimana begitu, saat disemati gelar “Pak Haji”. Panggilan itu, sesuatu yang sebenarnya tidak saya harap. Saya sendiri sering guyon, kalau setelah menunaikan haji dipanggil “haji”, bagaimana dengan telah melaksanakan rukun Islam lainnya?

Ternyata panggilan “Pak Haji” terhadap orang yang telah menunaikan ibadah haji itu juga terjadi di Makkah. Para askar (Satpam) Masjidil Haram, polisi atau bahkan para penjual barang, saat menegur kita, atau menawarkan barang jualannya, mereka manggil kita juga dengan sebutan “haji” atau “hajjah”.

Menurut Ustaz Adi Hidayat, dalam kanal YouTube nya, panggilan haji/hajjah di kota suci itu adalah untuk mengingatkan agar orang yang sudah berhaji itu selalu “berhaji” dalam perbuatannya.  Perkiraan saya, setibanya di tanah air, sematan gelar haji tersebut, juga akan dilakukan oleh teman-teman. Ketika belum menunaikan ibadah saja, ada kok yang sudah memanggil saya “Pak Haji”. Mungkin karena penampilan saya yang nampak santri, meski saya sering berusaha tampil casual untuk menyamarkan kesantrian saya.

Tentu, saya harus berbaik sangka, terhadap orang yang memanggilku dengan gelar baru tersebut. Saya yakin maksudnya baik, atau menghargai saya. Meskipun, sebenarnya, kalau tidak disebut “Pak Haji” pun, saya tetap senang saja. Saya netral.  Iya, panggilan “haji” atau “hajjah” itu telah menjadi budaya di Indonesia. Selain panggilan, orang yang pulang naik haji juga berpenampilan ke-arab-arab-an. Pakaian gamis, serban atau setidaknya kethu putih. Semua itu penanda, bahwa orang itu telah menunaikan ibadah haji.

Bahkan, ada yang ekstrem. Marah atau tersinggung jika tidak dipanggil “Pak Haji”. Sebaliknya, ada yang tidak mau dipanggil “Pak Haji”. Yang tidak mau ini, mungkin dengan alasan haji adalah seperti halnya rukun Islam lainnya. Tidak perlu disematkan kepada orang yang telah menunaikan rukun islam.

Bagi yang berkehendak dipanggil “Pak Haji”, tentu juga mempunyai berbagai alasan. Seolah, gelar haji atau hajjah bisa mengerek status sosialnya. Saya pernah mendengar, orang protes saat gelar Haji tidak disebut dalam namanya di suatu dokumen surat.

Namanya saja budaya. Ia muncul dan kemudian melembaga, dalam proses waktu yang panjang karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.  Kekuatan budaya itu luar biasa kuat dalam memengaruhi perilaku individu atau masyarakat. Apapun itu, saat sudah menjadi budaya, seolah telah menjadi pedoman atau norma rujukan dalam berperilaku dalam masyarakat.

Contoh gampangnya, korupsi itu telah menjadi budaya. Demikian pendapat yang pernah disampaikan Moh. Hatta, saat masih menjabat sebagai wakil presiden dan “frustasi” melihat kondisi korupsi di negeri ini (hehehe…saat itu korupsi ternyata sudah meraja lela).

Tentang korupsi menjadi budaya, tentu itu akan menjadi tema debat panjang. Yang pasti, apalagi pada pemerintahan Joko Widodo ini, pendapat Moh Hatta ini seolah telah dikonfirmasi. KPK dihancurkan, Firli Bahuri dipilih menjadi pimpinan KPK oleh 56 anggota komisi II DPR dari 56 anggota yang hadir adalah sebagian kecil contoh kuatnya budaya korupsi itu. Sehingga, seolah telah muncul adagium baru: Bagi Yang Tidak Mau Korupsi, Go Away! Tidak patut menjadi politisi, kalau tidak mau korup!

Kembali ke masalah gelar “haji” atau “hajjah”. Kebetulan tadi saya mendengarkan Ngaji Filsafat-nya Fahruddin Faiz, dalam kanal YouTube-nya. Menurut Faiz, gelar “haji” itu disematkan secara sengaja oleh pemerintah Hindia Belanda kepada orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji.

Berdasarkan amatan Pemerintah “penjajah” Hindia Belanda, banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji, terpengaruh pikiran-pikiran pembaruan hingga mereka “melawan” pemerintah Hindia Belanda.  Para pelawan (baca: pemberontak) pemerintahan penjajah Belanda, apalagi yang berlatar belakang santri, rata-rata mereka telah menunaikan ibadah haji.

Saya punya buku, tapi lupa judul dan penulisnya (maklum, sedang tidak di rumah). Dalam buku itu, diuraikan, gerakan kemerdekaan itu dilakukan dari tiga arah asal: Belanda (mahasiswa yang kuliah di Belanda) dari dalam negeri dan dari Arab.

Perlu diketahui, nama Indonesia sebagai cita-cita entitas politik, berawal dari aktivitasme mahasiswa Indonesia di Belanda yang bergabung dalam PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Mulanya, Indonesia hanyalah nama wilayah geografis, bukan politis. Karena itu, ketika para pelajar Indonesia di Belanda menggaungkan Indonesia sebagai entitas politik, itu sangat mengerikan bagi pemerintah (penjajah) Hindia Belanda. Saat Indonesia disebut, itu berarti upaya mengusir penjajah.

Barang kali, kengerian pemerintah Hindia Belanda mendengar sebutan Indonesia itu sama ngerinya bagi rezim Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, mendengar kata “KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”. Saat itu, KPK masih digdaya. Karena itu, untuk melenyapkan rasa ngeri itu, KPK harus dihancurkan. Tujuannya, untuk tidak takut korupsi. Dan, kompak, seluruh kekuatan politik formal, tidak satu pun yang menolak.

Baca juga: Pramaguri Haji Pembersih Toilet

Adapun gerakan kemerdekaan dari dalam negeri, banyaknya pejuang kemerdekaan. Sejak zaman Diponegoro, hingga Soekarno. Gerakan-gerakan tersebut, dalam amatan pemerintah Hindia Belanda, banyak yang dimotori oleh orang-orang yang pulang haji.

Bentuk Pengawasan

Karena itu mulai dilakukan pengawasan terhadap orang-orang yang naik haji. Bagi mau berangkat dipersulit, melalui tes yang dilakukan oleh bupati.  Kakek saya, Abdul Hamid, termasuk yang berhasil naik haji dengan cara kucing-kucingan dengan petugas pemerintahan Hindia Belanda. Kata ayah saya, Muzajin, Mbah Abdul Hamid bisa haji dengan naik kapal laut dengan perjalanan sekitar enam  bulan.

Mempertimbangkan fakta orang naik haji bisa berubah pikiran, pemerintah Hindia Belanda mendata atau mencatat, seluruh penduduk yang sudah naik haji. Agar pendataannya gampang, diintruksikan kepada seluruh penduduk yang telah naik haji agar menyematkan gelar haji di depan namanya.

Bahkan para jemaah haji itu, sepulangnya ke Tanah Air, agar berpenampilan beda, berpakaian khas Arab. Pakai serban, gamis dan sebagainya. Dengan penyematan gelar “haji” dan pakaian khas nya, akan lebih mudah memetakan kekuatan mereka. Pantauan dilakukan untuk melakukan deteksi dini, kemungkinan benih-benih berontak itu mulai bersemai.  Saya berusaha browsing, tentang kebenaran pendapat Fahruddin Faiz itu. Ternyata, bukan bualan. Kajian yang dilakukan Aqib Suminto, Stenbrink dan sebagainya, benar bahwa gelar Haji pada awalnya muncul karena ada instruksi dari pemerintah Hindia Belanda, untuk memetakan potensi perlawanan rakyat.

Sekarang ini, sudah turun menurun orang yang naik haji diberi gelar “haji” atau “hajjah”. Bahkan telah menjadi budaya dan kita tidak tahu asal usulnya, yang ternyata politis.  Meski demikian, fakta kita menikmati kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut, dan kita seneng kalau dipanggil: “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”. Kamu bagaimana?

Wallahu a’lam.

Perjalanan Makkah-Madinah, 11 Juli 2024

Penulis adalah kader Muhammadiyah Boyolali

Tags: Gelarhajihajjahpenjahan belanda
Sholahuddin

Sholahuddin

Recommended.

Jalin kerjasama Internasional : UMS Tandatangani MoU dengan Universitas Malaysia Perlis

October 19, 2021

Nasyiatul Aisyiyah: Peranannya di Era Sekarang

August 26, 2023

Trending.

Mengenal Ekonomi Islam

May 31, 2025

“Lagu lama, Luka Baru : Lagu surat buat wakil rakyat di pemerintahan Prabowo”

June 3, 2025

RS PKU Muhammadiyah Solo Peringati Hari Gizi Nasional dengan Berbagi Snack Sehat

January 26, 2025

ITS PKU Muh Solo Jadi Pusat Pendidikan Kemuhammadiyahan di Soloraya

January 26, 2025

 Aksioma Dasar Ekonomi Islam

June 2, 2025
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Call us: +6285234007456

© 2025 - berkemajuan.id - "Memajukan & Memanusiakan" by Rozaq

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Liputan Khusus
  • Infografis
  • Artikel
  • Insight
  • Tajdid
    • Pendidikan
    • Ekonomi
    • Sosial
  • Photography
  • Risalah

© 2025 - berkemajuan.id - "Memajukan & Memanusiakan" by Rozaq