Di ujung utara Nusantara, jauh dari riuh perkotaan, terbentang gugusan pulau eksotis nan strategis yang berbatasan langsung dengan Filipina—itulah Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Keindahan alamnya memesona, namun medan dakwah Islam, khususnya bagi Muhammadiyah, tak semudah mentari pagi yang bersinar tenang di bibir pantai Tahuna. Dakwah di tanah ini adalah ikhtiar penuh peluh, keberanian, dan kesabaran dalam menyalakan cahaya Islam di tengah tantangan yang kompleks dan berlapis.
Pelataran Sejarah dan Kehadiran Muhammadiyah
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam modernis yang berdiri sejak 1912, telah menancapkan pengaruhnya di berbagai pelosok Nusantara. Namun di Kepulauan Sangihe, kehadirannya masih dalam fase bertumbuh dan membangun akar. Keberadaan Muhammadiyah di kabupaten kepulauan ini bukan sekadar membawa syiar keislaman, tapi juga membangun pendidikan, kesehatan, dan nilai kemanusiaan universal.
Kepulauan Sangihe merupakan wilayah dengan mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan. Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 80% penduduk Sangihe menganut agama Kristen, sementara Islam berada pada kisaran 19%, tersebar di beberapa desa pesisir dan kantong-kantong masyarakat pendatang. Konteks ini menjadikan dakwah Islam sebagai jalan sunyi yang memerlukan pendekatan bijak dan inklusif.
Dakwah dalam Minoritas
Menjalankan dakwah di wilayah minoritas agama bukanlah perkara mudah. Beberapa tantangan utama yang dihadapi kader-kader Muhammadiyah di Sangihe meliputi:
1. Letak Geografis yang Terisolasi
Wilayah Sangihe terdiri dari pulau-pulau kecil yang terpencar, sebagian hanya bisa dijangkau lewat laut dengan waktu tempuh berjam-jam, bahkan hingga berhari-hari tergantung cuaca. Kondisi ini menyulitkan distribusi kader dakwah dan program pemberdayaan. Infrastruktur yang belum memadai menambah berat medan dakwah ini.
“Di sini, bukan hanya logistik dakwah yang harus kuat, tapi juga tekad yang tahan badai,” ujar salah satu kader Muhammadiyah yang bertugas di Sangihe.
2. Komunikasi Antarumat Beragama
Sebagai organisasi yang membawa semangat tajdid (pembaharuan), Muhammadiyah perlu membangun komunikasi lintas agama yang sejuk. Pendekatan dialogis menjadi keniscayaan agar dakwah tidak memicu resistensi sosial. Di sinilah pentingnya dakwah bil hikmah, mengajak dengan kebijaksanaan, bukan konfrontasi.
Muhammadiyah di Sangihe berupaya menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semua, bukan hanya untuk umat Islam. Pendekatan ini terwujud melalui kegiatan sosial, pendidikan, dan pelayanan kesehatan lintas agama.
3. Keterbatasan Kader dan Fasilitas
Jumlah kader Muhammadiyah di Kepulauan Sangihe relatif sedikit. Mereka tersebar di beberapa desa, sebagian besar adalah guru, pegawai, atau aktivis sosial. Minimnya lembaga formal Muhammadiyah seperti masjid, sekolah, atau klinik menjadi kendala tersendiri dalam menumbuhkan basis dakwah yang kuat.
Namun justru di tengah keterbatasan inilah semangat dakwah menjadi semakin membara. Kader Muhammadiyah di sana tidak sekadar berdakwah dengan lisan, tapi dengan keteladanan hidup dan kerja nyata di masyarakat.
Membangun dari Pinggiran
Muhammadiyah meyakini bahwa pembangunan bangsa tidak boleh tersentralisasi di kota besar. Pinggiran dan perbatasan seperti Sangihe harus mendapat perhatian utama. Melalui prinsip Islam Berkemajuan, dakwah Muhammadiyah di Sangihe diarahkan untuk mengangkat martabat masyarakat dengan ilmu dan amal.
Program-program yang telah dijalankan antara lain:
- Penguatan literasi keislaman melalui pengajian dan diskusi terbuka antarumat.
- Pendidikan alternatif berbasis komunitas, seperti taman baca dan kelas inspirasi.
- Aksi sosial dalam bentuk bantuan bencana, pelayanan kesehatan gratis, dan distribusi zakat untuk warga miskin tanpa diskriminasi agama.
Jalan Tengah yang Membumi
Di Sangihe, pendekatan dakwah kultural menjadi sangat penting. Budaya lokal yang kaya dengan nilai-nilai kekeluargaan dan adat istiadat mesti dihargai, bukan dilabrak. Muhammadiyah memilih jalan akomodatif tanpa harus menggadaikan prinsip akidah. Islam diperkenalkan dengan wajah yang ramah dan toleran, bukan keras dan kaku.
Kehadiran Muhammadiyah juga memberi warna baru dalam wajah Islam di Sangihe. Bukan Islam yang eksklusif, melainkan inklusif dan transformatif. Islam yang mampu hidup berdampingan tanpa harus kehilangan jati diri.
Harapan dan Jalan Panjang ke Depan
Perjalanan dakwah Muhammadiyah di Kepulauan Sangihe masih panjang. Namun seperti cahaya yang menembus malam, kehadirannya telah memberi harapan. Harapan akan tumbuhnya generasi muda Islam yang berilmu dan berakhlak. Harapan akan hadirnya lembaga-lembaga dakwah yang kokoh, meski dari wilayah terpencil.
Langkah ke depan perlu diiringi dengan sinergi antarwilayah dan dukungan pusat Muhammadiyah. Pengiriman kader, pelatihan dakwah lintas budaya, serta pembangunan amal usaha menjadi kebutuhan yang mendesak.
Muhammadiyah tidak boleh lelah membawa cahaya itu, meski di ujung utara negeri ini.