Jumat siang. Matahari menggantung di atas langit yang perlahan memutih, udara mulai menggeliat di sela-sela dedaunan, dan suara adzan mengalun dari menara-menara masjid. Ada sesuatu yang khas dari siang hari itu: keramaian jalanan, langkah-langkah tergesa para lelaki, dan deret sandal yang tertata di pelataran masjid.
Di balik ritual itu, Sholat Jumat hadir sebagai panggilan pekanan yang menyatukan tubuh-tubuh lelaki dalam barisan yang rapi dan hati yang (diharapkan) tunduk kepada Yang Maha Mengatur.
Tetapi benarkah Jumat hanyalah tentang shalat berjamaah dan khutbah dua rakaat? Atau justru ada pesan yang lebih dalam yang ingin disampaikan semesta?
Satu Pekan Sekali: Sebuah Ritme Sosial
Sholat Jumat, dalam Islam, adalah kewajiban yang secara spesifik ditujukan bagi laki-laki dewasa, merdeka, dan bermukim (bukan musafir). Ia menggantikan sholat dzuhur pada hari Jumat, dan dilaksanakan dalam bentuk berjamaah serta didahului dua khutbah. Menurut mayoritas ulama, termasuk dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), perempuan tidak diwajibkan, meski tidak dilarang untuk mengikutinya.
Mengapa hanya laki-laki yang diwajibkan?
Pertanyaan ini, jika dijawab hanya dari sisi hukum, mungkin akan selesai pada satu-dua hadis. Tapi jika diselami lebih dalam, kita akan menemukan bahwa kewajiban ini adalah panggilan yang bukan sekadar ritual, melainkan mekanisme spiritual dan sosial yang menyasar struktur peradaban.
Laki-laki, dalam banyak sistem masyarakat, adalah figur yang lebih sering berada di ruang publik. Ia bekerja, berdagang, berinteraksi, bernegosiasi, mengambil keputusan, dan menghadapi tantangan sosial secara langsung. Maka, memanggil laki-laki untuk berkumpul setiap Jumat bukan hanya soal sholat, tetapi juga soal menyatukan arah, menyegarkan nilai, dan mengingatkan kembali pada tanggung jawab sebagai penjaga tatanan kehidupan.
Seorang sosiolog Muslim asal Pakistan, Fazlur Rahman, dalam tulisannya tentang Islam dan Etika Sosial, menyebut bahwa ibadah dalam Islam bukan hanya instrumen relasi vertikal, tetapi juga struktur bagi etika publik. Dan Sholat Jumat adalah salah satu institusi etika itu: “The Friday prayer is not merely a devotional obligation, but an ethical summon to rethink one’s position in the moral order.” (Shalat Jumat bukan hanya sekedar kewajiban ibadah, namun panggilan etis untuk memikirkan kembali posisi seseorang dalam tatanan moral.)
Khutbah: Panggung Kecil Peradaban
Dalam pelaksanaan Sholat Jumat, khutbah memegang peran utama. Ia bukan sekadar pembukaan, tapi inti. Di dalamnya termuat pesan keagamaan, sosial, ekonomi, bahkan politik. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, khutbah Jumat menjadi sarana menyampaikan informasi publik, mengarahkan umat, dan mengingatkan tentang amanah.
Mengapa khutbah harus didengar oleh laki-laki? Karena mereka-lah yang kemudian menjadi aktor-aktor utama dalam kehidupan sosial. Mereka yang akan turun ke pasar, ke kantor, ke ladang, ke parlemen, ke sekolah, bahkan ke medan konflik.
Maka, khutbah menjadi semacam “briefing” moral pekanan agar dunia tak dikendalikan semata oleh logika untung rugi atau menang kalah, tetapi dibingkai oleh nilai-nilai ilahiah: keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan kejujuran.
Dalam khutbah, seorang khatib bisa bicara tentang mahalnya harga bahan pokok, pentingnya menolong tetangga, bahaya fitnah media, atau urgensi menjaga lingkungan. Dan semua itu dikemas dalam bingkai wahyu – sebuah perpaduan yang mengakar kuat di hati.
Selain itu, jika dilihat dari dimensi waktu, Sholat Jumat juga dapat dikatakan semacam “checkpoint” moral. Seperti seseorang yang bekerja sepanjang minggu dan diberi waktu evaluasi di akhir pekan, maka Jumat menjadi momen evaluasi spiritual. Ia menandai berakhirnya satu siklus kehidupan harian dan membuka siklus baru.
Fakta bahwa sholat Jumat dilakukan berjamaah, bukan individu, adalah penegasan bahwa manusia tidak hidup sendiri. Ia selalu dalam struktur sosial. Dan dalam Islam, struktur sosial ini harus dibangun di atas kesadaran kolektif yang dibentuk secara rutin. Satu pekan sekali adalah cukup: tidak terlalu sering untuk menjadi beban, dan tidak terlalu jarang untuk dilupakan.
Sebuah studi oleh Pew Research Center pada 2016 mencatat bahwa tingkat keterlibatan laki-laki Muslim dalam ibadah Jumat jauh lebih tinggi dibanding bentuk ibadah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Jumat telah menjadi ruang konsolidasi spiritual laki-laki Muslim di seluruh dunia, dari desa-desa kecil di Indonesia hingga kota-kota besar di Eropa.
Lelaki dan Perempuan dalam Relasi Sholat Jumat
Dalam realitas sosial, laki-laki sering kali diidentifikasi sebagai kepala keluarga, pelindung, pencari nafkah, dan pengambil keputusan. Maka tak heran jika kewajiban pekanan ini jatuh padanya. Sholat Jumat adalah cara Islam mendidik lelaki agar tidak sekadar mencari dunia, tetapi juga membawa nilai-nilai akhirat ke dalam dunia itu.
Jika dalam satu pekan seorang lelaki sibuk mengatur strategi bisnis, menandatangani kontrak, menyusun anggaran rumah tangga, atau menghadapi konflik sosial, maka Jumat adalah momen untuk mundur sejenak: menundukkan kepala, meluruskan niat, dan menyeimbangkan batin. Di mimbar khutbah, ia diingatkan bahwa kekuasaan itu fana, uang itu alat, dan waktu itu tak bisa dibeli.
Di sisi lain, ketika perempuan tidak diwajibkan dalam sholat Jumat, itu bukan karena ia lebih rendah, tapi karena Islam memberi ruang fleksibilitas. Dalam banyak kasus, perempuan memegang tanggung jawab rumah, anak, kesehatan, dan pekerjaan domestik yang tidak kalah beratnya. Maka, ia diberi pilihan. Jika ingin datang, ia boleh. Jika tidak, sholat dzuhur di rumah tetap sah.
Beberapa ulama kontemporer, seperti Amina Wadud dan Khaled Abou El Fadl, bahkan melihat ketidakwajiban perempuan dalam Jumat sebagai bentuk pengakuan Islam terhadap kompleksitas peran perempuan, bukan sebagai bentuk diskriminasi. Di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, dan Turki, perempuan mulai lebih aktif ikut dalam sholat Jumat karena konteks sosial memungkinkan, dan Islam tidak melarang itu.
Sebuah Panggilan Pekanan untuk Membangun Dunia
Ketika suara adzan berkumandang di hari Jumat, yang datang bukan hanya panggilan untuk shalat. Ia adalah panggilan untuk merenung, untuk mengoreksi, dan untuk menyatu kembali dalam ikatan Ilahi. Dan ketika langkah-langkah kaki para lelaki memenuhi masjid, itu adalah pertanda bahwa tanggung jawab sosial sedang dihidupkan kembali.
Sholat Jumat bukan hanya kewajiban, tapi kehormatan. Ia bukan beban, melainkan anugerah. Sebuah momen istirahat dari dunia yang bising, agar kita tak lupa pada suara hati.
Karena di antara gemuruh dunia, manusia butuh satu hari untuk mendengar suara langit.