Pendahuluan: Romantisme Epik dan Tafsir Filsafat
Kisah cinta Rama dan Sinta dalam epos Ramayana telah lama menjadi simbol keagungan cinta yang penuh kesetiaan, pengorbanan, dan penderitaan. Namun, bagaimana jadinya jika kisah ini dibaca ulang melalui kacamata filsuf eksistensialis Kristen abad ke-19, Søren Kierkegaard? Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda secara budaya dan religius, pembacaan cinta Rama dan Sinta melalui pemikiran Kierkegaard menawarkan pemahaman yang mendalam tentang pilihan, iman, dan cinta sebagai laku eksistensial. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi makna cinta antara Rama dan Sinta dengan menggunakan kerangka pemikiran Kierkegaard, khususnya gagasannya tentang cinta sebagai tanggung jawab etis dan “lompatan iman”.
Cinta Rama dan Sinta: Antara Kesetiaan dan Penderitaan
Rama dan Sinta adalah simbol ideal cinta dalam budaya Hindu, terutama di India dan Asia Tenggara. Ketika Sinta diculik oleh Rahwana, Rama tidak sekadar mencari kekasih yang hilang, melainkan melaksanakan sebuah misi etis untuk menyelamatkan kehormatan, cinta, dan nilai keluarga. Namun, kisah ini tidak berakhir pada kemenangan atas kejahatan. Setelah menyelamatkan Sinta, Rama justru menguji kesuciannya dengan memintanya membakar diri ujian yang memunculkan tafsir ambivalen dalam banyak kajian feminis dan teologis.
Di titik inilah filsafat Kierkegaard memberi jalan pembacaan baru.
Cinta sebagai Pilihan Eksistensial
Kierkegaard dalam karya terkenalnya Works of Love (1847) menyatakan bahwa cinta sejati bukanlah sekadar hasrat romantik atau emosi sesaat, melainkan tindakan yang sadar dan penuh tanggung jawab. Ia membedakan antara cinta yang bersifat estetis (berdasarkan perasaan dan keinginan) dan cinta yang bersifat etis (berdasarkan keputusan dan komitmen). Dalam pandangannya:
“To love another person is to understand that love is a duty.”
(Søren Kierkegaard, Works of Love)
Jika kita menempatkan cinta Rama kepada Sinta sebagai bentuk komitmen yang melewati batas emosional, maka Rama tidak sedang mencintai secara sentimental, melainkan sedang memilih secara sadar untuk mencintai melalui penderitaan, pengorbanan, bahkan ketegangan antara kehendak pribadi dan norma sosial.
Rama dan Lompatan Iman: Seperti Abraham dan Ishak
Dalam Fear and Trembling (1843), Kierkegaard mengisahkan Abraham yang rela mengorbankan anaknya Ishak demi menaati perintah Tuhan. Tindakan Abraham ini disebutnya sebagai lompatan iman melampaui etika universal demi ketaatan kepada yang transenden.
Rama, dalam analogi ini, bisa dilihat sebagai “knight of faith” versi timur. Ketika ia menguji Sinta dengan api, ia bukan sekadar menindas, tapi menunjukkan betapa cinta sejati harus melewati penderitaan dan melampaui aturan umum demi membuktikan keberadaannya di tingkat eksistensial. Tindakan itu tentu kontroversial, namun dari kacamata Kierkegaardian, bisa dibaca sebagai dilema tragis antara cinta, tanggung jawab raja, dan iman terhadap kebenaran yang lebih tinggi
Cinta Sinta: Ketabahan dan Pengorbanan
Kierkegaard juga berbicara tentang cinta yang bertahan dalam penderitaan. Sinta, yang tetap setia meski diragukan, mencerminkan cinta yang tidak menuntut balasan, tidak memanipulasi, dan tetap berdiri pada komitmen awal. Dalam Works of Love, Kierkegaard menyebut cinta seperti ini sebagai bentuk “kasih yang kekal”:
“Love hides a multitude of sins.”
(Søren Kierkegaard, Works of Love)
Cinta Sinta melampaui kesedihan personal dan menjadi simbol dari keagungan batin. Ia adalah sosok yang tidak sekadar pasif, tetapi juga penuh kekuatan moral. Dalam konteks ini, cinta Sinta mendekati cinta agape: memberi tanpa syarat, menerima luka tanpa membalas.
Cinta sebagai Jalan Eksistensial
Membaca ulang kisah Rama dan Sinta melalui kerangka Søren Kierkegaard tidak berarti memaksakan tafsir Barat atas narasi Timur, tetapi memperkaya pemahaman lintas budaya terhadap hakikat cinta sebagai pilihan, komitmen, dan penderitaan. Baik Rama maupun Sinta dapat dilihat sebagai representasi dua sisi cinta Kierkegaardian: cinta sebagai pengorbanan yang sadar dan cinta sebagai iman yang tabah.
Dalam dunia hari ini yang serba instan, kisah Rama dan Sinta dibaca melalui lensa Kierkegaard mengajak kita untuk merenung: apakah cinta yang kita jalani merupakan pelarian dari tanggung jawab, atau justru jalan menuju keberadaan yang otentik?