Muhammadiyah telah melalui peroses sejarah lebih dari satu abad, sejak era Kiyai Dahlan 1912 hingga sekarang. Tentu ini bukan perjalanan sejarah yang singkat, dan sebagai sebuah organisasi Islam, Muhammadiyah tentu memiliki karakteristik yang menjadi ciri khas dalam gerakannya.
Adapun corak atau karakteristik Muhammadiyah;
‘Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.’ Seperti yang tertuang di dalam point pertama Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).
Ketika era awal kemerdekaan banyak organisasi Islam yang memilih berafiliasi dengan politik bahkan menjadi gerakan politik, akan tetapi lain halnya dengan Muhammadiyah seperti disinggung oleh Prof Amin Abdullah, (2019) bahwa pilihan wadah perjuangan dan aktivitas keagamaan dalam bentuk (organisasi sosial-keagamaan) bukan organisasi sosial politik merupakan pilihan genius (luar biasa).
Sebagai gerakan sosial keagamaan, atau gerakan Islam dan dawkah, Muhammadiyah tidak lahir dari sebuah peristiwa sejarah yang hampa.Tentu ada beberapa faktor sosio-historis (kesejarahan dan sosial) yang menjadikan Muhammadiyah konsen dalam gerakan sosial, pendidikan , kesehatan, dan utamanya adalah gerakan dakwah Islam.
Diantaranya adalah; situasi internal umat Islam, yaitu ketika Islam berada dalam kondisi terbelakang dan jumud. Mereka tidak bisa membedakan tradisi lokal dan ajaran pokok dalam Islam, serta membid’ahkan dan mengkafirkan semua hal yang dianggap baru dan bernuansa Eropa.
Selain itu, Amin Abdullah juga menekankan bahwa ada (Habit of Mind) atau kebiasaan berpikir seperti yang disinggung di atas yaitu jumud (KBBI; Kebekuan/Kemandekkan) dalam berpikir yang menjadi keprihatinan paling serius Kiyai Dahlan. Sehingga menggalakkan gerakan dakwah pencerahan. Kata Prof. Amin, tidak hanya soal perang melawan TBC(Takhayul, Bida’ah dan Churafat).
Ketiga hal itu memang menjadi konsen Kiyai Dahlan dalam gerakan dakwah Islamiyah era awal Muhammadiyah. Akan tetapi, dalam gerakan dakwahnya Kiyai selalu menekankan secara internal umat Islam perlu memperbaiki cara berpikir keagamaan.
Mungkin ada benarnya apa yang dikata Prof Amin, bahwa konsen yang paling utama Kiyai Dahlan adalah soal mengubah cara berpikir keagamaan yang kolot dan terbelakang.Tidak serta merta meratakan tradisi lokal yang ada pada saat itu.
Hal ini pun selaras dengan ilustrasi sejarah dalam buku berjudul (Muhammadiyah Jawa) yang ditulis oleh Ahmad Najib Burhani (2010) bahwa Muhammadiyah Jawa era awal sangat rasional dalam berpikir dan tidak memaksa dalam dakwahnya.
Kiyai Dahlan memilih gerakan dakwah yang adaptif dengan situasi dan kondisi umat saat itu. Penggunaan bahasa Jawa dalam khutbah jum’at serta dokumentasi (seperti photo) para pendiri Muhammadiyah awal yang kental dengan pakaian kejawaan daripada ormas Islam lainnya yang lebih menonjolkan pakaian yang serba Arab (jubah dan sorban). Kemudian mereformasi sistem pendidikan Islam tradisional mengkolaborasikannya dengan ilmu pengetahuan seperti mempelajari tulisan latin, dan ilmu-ilmu sains lainnya.
Itulah kurang lebih kilas balik gerakan dakwah Muhammadiyah yang perlu dipahami kembali akar sejarahnya. Bahwa gerakan Dakwah Puritan Muhammadiyah awal sangat rasional dan tidak memaksa. Kiyai Dahlan selalu mengedepankan prinsip Dakwah yang bersumber pada Qur’an dalam surah An-nahal ayat 125. Tentu dakwah puritan Muhammadiyah dewasa ini harus terus (adaptif rasional) seperti yang dilakukan Kiyai Dahlan dimasa awal kelahirannya.
Tulisan ini berfokus pada pandangan penulis bahwa dakwah puritan Muhammadiyah khususnya yang ada di wilayah Kepulauan Sangihe perlu memotret sejarah secara komprehensif (menyeluruh) dan pemahaman yang adaptif (Sesuai situasi dan kondisi zaman) tentang dakwah puritan Muhammadiyah, penulis tidak bermaksud menggurui pembaca dalam hal ini, hanya berkeinginan untuk kemajuan dan kebaikan bersama demi organisasi Muhammadiyah yang kita cintai dan banggakan. Sebagai wadah amal soleh agar selalu mampu menjawab berbagai persoalan umat dan seluruh manusia dan alam semesta.
Menurut hemat penulis, dakwah puritan Muhammadiyah khususnya di Kepulauan Sangihe masih terkungkung dalam tiga hal di atas (TBC) narasi yang dibangun ketika menyampaikan tajdid (pembaruan) dalam hal purifikasi (pemurnian) masih terbawa dalam siklus (pengulangan) tentang dakwah puritan Muhammadiyah melawan (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).
Belum bisa keluar dengan interpretasi (pemaknaan baru) tentang konsep Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat yang lebih kontekstual era sekarang. Banyak takhayul medsos yang jarang dibicarakan. Padahal tidak sedikit orang yang mudah percaya berita bohong atau (Hoaks) ketimbang melakukan klarifikasi terkait fakta (kenyataan) yang sebenarnya terjadi.
Jika dulu ruang lingkup Takhayul, Bid’ah dan Churafat hanya pada persoalan yang esensial dalam Islam seperti memadukan kepercayaan lokal dengan ajaran Islam atau sering disebut dengan istilah Sinkretisme (Pencampuran antara agama budaya) seperti yang penulis singgung di atas. Menambah dan mengurangi rukun-rukun dalam sholat yang tidak sesuai dalil-dalil yang sohih dan rajih (kuat). Serta kepercayaan pada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat.
Pandangan tentang hal itu dewasa ini bukan berarti sudah tidak relevan, akan tetapi perlu adanya penerjemahan dan penafsiran ulang tentang konsep (TBC) yang lebih berkesesuaian dengan situasi dan kondisi sosial keagamaan umat saat ini. Sebab; kehidupan dunia yang serba digital (Berbasis Internet) dan transformatif (Cepat Berubah) dalam banyak hal perlu mengalihkan wacana dan media baru dalam dakwah puritan Muhammadiyah agar tidak mandek (terhenti).
Bukan berarti sudah tidak ada lagi orang yang pergi ke dukun ketimbang rumah sakit, bukan berarti tidak ada lagi orang yang lebih percaya benda-benda keramat seperti cincin berkodam dst. Akan tetapi, penulis ingin menawarkan pandangan baru tentang aspek kajian dalam dakwah puritan Muhammadiyah khususnya yang ada di Kepulauan Sangihe, bahwa aspek-aspek purifikasi (pemurnian) tidak hanya berbicara persoalan takhayul, Bid’ah dan churafatdalam konsep dan wacana yang lama.
Belum lagi dakwah puritan yang hanya sebatas pada persoalan furu’iyyah (Cabang) perbedaan pendapat soal jumlah rakaat sholat tarawih, qunut, tahlilan, tawasul, dan seterusnya. Penulis berharap ke depan wacana keagamaan Islam di Sangihe, khususnya dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi sosial keagamaan dan mampu menjawab tuntutan praktis persoalan sosial keagamaan dan persoalan sosial pada umumnya, yang ada di Kepulauan Sangihe saat ini dan yang akan datang.
Fastabiqul Khairat
Wassalam