Dalam ketentuan Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen-PNF) Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2024 telah dijelaskan pengertian guru, tetapi belum didefiniskan siapakah sesungguhnya yang dimaksud “guru Muhammadiyah”? Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, serta menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah. Pengertian ini bisa diterima sebagai titik tolak mencari definisi tentang guru Muhammadiyah.
Secara empiris guru Muhammadiyah dapat dimaknai sebagai seluruh guru yang mendidik/bekerja di sekolah Muhammadiyah, baik yang diangkat oleh persyarikatan maupun ASN yang diperbantukan (DPK) di sekolah Muhammadiyah. Pengertian ini mudah dipahami dan keberadaannya sudah diakui, terlebih setelah Forum Guru Muhammadiyah (FGM) berdiri dan terus menggeliat dalam menggerakkan guru-guru di sekolah Muhammadiyah.
Pengertian tersebut (empiris), merupakan modalitas awal untuk mengembangkan lebih jauh seluruh potensi mereka sesuai cita-cita Muhammadiyah. Idealnya guru Muhammadiyah bukan hanya mereka yang mendidik/bekerja di sekolah Muhammadiyah, tetapi pada saat bersamaan juga berkepribadian (berkarakter) Muhammadiyah dan aktif dalam aktivitas persyarikatan.
Idealnya guru Muhammadiyah memiliki karakter utama/kepribadian sebagai berikut: (1) beramal untuk perdamaian dan kesejahteraan, (2) memperbanyak kawan, (3) lapang dada dan berpandangan luas, (4) bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, (5) mengindahkan hukum-hukum negara, (6) beramar ma’ruf nahi mungkar, (7) aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, (8) bekerjasama dengan golongan Islam lain, (9) membantu pemerintah, dan (10) adil serta korektif.
Berdasarkan dua kerangka konseptual di atas dapat ditarik garis lurus di mana yang empiris merupakan titik tolak/titik keberangkatan menuju titik cita idealistik. Dalam rentang jarak antara titik keberangkatan sampai titik idealistik, secara garis besar keberadaan mereka dapat digolongkan menjadi dua karakter (wajah) guru Muhammadiyah, yaitu; wajah guru “pencari penghidupan” dan wajah guru yang “menghidupkan” Muhammadiyah. Kedua wajah guru Muhammadiyah perlu dijabarkan lebih rinci dan lebih empiris, sehingga sosok masing-masing wajah terlihat semakin jelas.
Menghidupkan Sekolah Muhammadiyah
“Hidup-hidupilah (sekolah) Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di (sekolah) Muhammadiyah”, demikian pesan Kiai Dahlan saat proses awal merintis persyarikatan. Apa makna pesan ini? Bagaimana aktualisasinya dalam kerangka pengembangan sekolah saat ini?
Tentu kita tidak akan memaknai pesan itu secara tektual, bahwa seseorang yang bekerja di AUM (baca: sekolah Muhammadiyah) tidak boleh menerima gaji, kalaupun digaji harus serendah mungkin, jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR). Dalam konteks saat ini, guru di sekolah Muhammadiyah justru harus disejahterakan agar hidup secara layak dan dapat bekerja penuh totalitas, tentu sesuai kekuatan finansial sekolah.
Sumber finansial sekolah Muhammadiyah berasal dari masyarakat, bukan dari pemerintah, sehingga harus benar-benar mampu menjaga layanan prima dan meningkatkan prestasi sekolah. Layanan prima dan prestasi inilah yang mampu merebut hati masyarakat untuk mempercayakan (trust) pendidikan putra-putrinya di sekolah Muhammadiyah. Tanpa layanan prima dan prestasi, sekolah akan ditinggalkan masyarakat dan siswanya akan terus merosot. Dengan sendirinya, kesejahteraan guru pun menurun.
Kualitas sekolah sangat ditentukan oleh keberadaan guru-gurunya dalam mendidik peserta didik. Bagaimana cara guru berada sangat menentukan kualitas Sekolah Muhammadiyah. Di muka disinggung dua cara (wajah) guru Muhammadiyah, yaitu; guru “pencari penghidupan” di Muhammadiyah dan guru yang “menghidupkan” (sekolah) Muhammadiyah.
Wajah guru Muhammadiyah yang pertama, “pencari penghidupan” pola berpikirnya stagnan (fix mindset) dan berkarakter memiliki (to having). Mereka bekerja menjadi guru Muhammadiyah semata-mata mencari uang, pola berpikirnya tidak berubah dan inginnya bergaji besar, tetapi kinerja dan moralitas/etos kerja rendah, serta banyak menuntut/meminta lembaga. Tentu saja mereka tidak mau aktif dalam kegiatan dakwah persyarikatan karena tidak menguntungkan baginya. Tidak ada uangnya.
Berbeda dengan wajah pertama, wajah kedua menampilkan karakter sebaliknya; berpikiran tumbuh (growth mindset), berorientasi pada karakter “menjadi” (to be), dan memfokuskan pada pengembangan dan menghidupkan sekolah Muhammadiyah. Sebab, bila sekolah Muhammadiyah berkembang, menjadi sekolah unggul dan berkemajuan, maka kesejahteraan seluruh guru dan karyawan akan meningkat. Orientasi pada pengembangan sekolah (lembaga), bukan sekadar kepentingan sendiri.
Dua wajah guru di atas tentu ada di sekolah Muhammadiyah. Di sekolah-sekolah yang unggul dan berkemajuan pada umumnya terjadi akumulasi guru-guru terbaik tipe kedua, guru-guru yang menghidupkan. Sebaliknya, di sekolah “hidup segan, mati sungkan” lebih dominan guru-guru tipe pertama, pencari penghidupan. Hipotesis ini tentu tidak berlaku untuk seluruh sekolah Muhammadiyah, terutama di daerah-daerah perdesaan/pedalaman yang mengalami banyak hambatan untuk berkembang.
Berangkat dari realitas empiris guru Muhammadiyah, sebagaimana digambarkan di atas, maka tugas berat menanti kepala sekolah sebagai pengelola dan Majelis Dikdasmen sebagai penyelenggara. Tugas berat itu adalah mentransformasikan kesadaran dan cara berpikir guru-guru “berwajah pencari penghidupan” menjadi guru-guru “berwajah menghidupkan” sekolah Muhammadiyah.
Belakangan tugas itu bertambah berat seiring kebijakan pemerintah menarik guru-guru ASN dari sekolah swasta dan mengangkat guru-guru yang telah terbentuk menjadi PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) dan ditempatkan di sekolah negeri. Meski demikian, sebagai pengelola dan penyelenggara harus berpikir optimistis. Fenomena itu harus dimaknai sebagai proses penyegaran dan peremajaan guru, wahana introspeksi diri sebagai momentum untuk menata guru Muhammadiyah secara lebih terarah dan terencana, serta menyejahterakannya.
Penulis adalah Ketua Majelis Pendidikan PDM Kota Surakarta