SOLO, MUHAMMADIYAHSOLO.COM-Salat Idul Fitri 1445 H di halaman SMP Negeri 26 Solo berlangsung khidmat, diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kepatihan Kulon, Kota Solo di bawah komando Dedik Gunawan, Rabu (10/4/2024) pagi.
Langit yang cerah dan sejuknya udara pagi membuat jemaah yang memadati lapangan olahraga basket tak beranjak sampai khotbah yang disampaikan oleh Dwi Jatmiko selesai. Mengawali khotbahnya, Wakil Kepala Sekolah SD Muhamamdiyah 1 Ketelan, Solo, itu mengungkapkan rasa syukurnya karena kaum muslimin di Tanah Air tercinta Indonesia bisa melaksanakan Idul Fitri di hari yang sama. Muaranya adalah meningkatnya keimanan dan ketakwaan, bersih jiwanya, sehat badannya, positif dan optimistik alam pikirannya, kian santun sikap dan perilakunya.
“Tentu kita [selain] harus menjadi insan yang salih, kita juga harus menjadi yang muslih. Mudahnya kita menjadi katalisator penyeru kebaikan insan muslih,” katanya yang disampaikan melalui siaran pers yang diterima muhammadiyahsolo.com, belum lama ini. Mengutip Surat Ali Imran 104, Jatmiko mengatakan kata muslih secara bahasa adalah memperbaiki atau membuat perbaikan. Sedangkan yang dimaksud dengan insan yang muslih di sini adalah insan yang selalu mengajak dan menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
“Untuk mewujudkan tatanan hidup yang demikian itu dibutuhkan campur tangan dan keterlibatan dari banyak pihak termasuk masyarakat itu sendiri. Itulah masyarakat yang tidak hanya salih, tetapi juga muslih yang berkontribusi pada kebaikan bersama,” katanya. Guru Pendidikan al Islam kelas V-VI dan Bahasa Arab kelas VI SD Muh 1 Solo itu lalu mengaitkan dengan kemerdekaan Indonesia yang hampir 80 tahun.
“Kita menyadari cita-cita kemerdekaan untuk menghadirkan negar yang adil, makmur dan sejahtera belum sepenuhnya terwujud. Dengan hadirnya kepemimpinan baru pada tahun 2024 ini kita menitipkan harapan besar agar perjalanan bangsa ini segera mengantarkan kita pada cita-cita tersebut,” katanya.
Jatmiko menjelaskan, hasil pendidikan Ramadan ini sebagai bekal untuk menjadi warga negara dan warga masyarakat yang tidak hanya shalih tetapi juga muslih. Pertama menjadi warga negara aktif dimulai dari memperbaiki diri sendiri dan keluarga kemudian berkontribusi untuk kebaikan masyarakat. Menurut Jatmiko, sungguh beruntung jika ada manusia yang mampu berperan menjadi kunci kebaikan bagi orang lain dan pintu penutup keburukan bagi orang lain. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kebaikan melalui kedua tangannya. Dan celakalah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kejelekan melalui kedua tangannya.
Untuk mewujudkan insan muslih itu, Jatmiko juga mengutip sabda Rasulullah SAW yang mengajarkan bagaimana mengekspresikan cinta kepada saudara atau golongan ketika berbuat salah, yaitu dengan menghentikan dari kesalahan tersebut. Jatmiko menegaskan, seseorang yang fanatik berlebihan tidak akan mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya. “Ketika seseorang fanatik terhadap orang atau kelompok yang dicintainya, maka ia akan memberikan kecintaan dan dukungan melampui batas timbangan rasionalitas ,” tuturnya.
Oleh karena itu, hilangkan fanatisme. Dalam pandangan Jatmiko, sesuai perspektif siyasah syariyyah atau hukum tata negara Islam, ketaatan terhadap pemerintah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi berjalannya suatu negara.
“Namun demikian ketaatan pada makhluk harus dilakukan dengan sikap kritis. Kita tidak boleh taat kepada pemimpin jika hal itu bertentangan dengan perintah Allah,” kata Jatmiko dengan mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, bahwa sebaik-baiknya jihad adalah menyatakan kebenaran (mengkritik) di sisi pemerintah yang lalim.
Jangan Berlebihan
Karena itu, kata Jatmiko, keterlibatan masyarakat dalam mengkritik pemerintah menjadi salah satu faktor penting bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau good governance. “Maka berbahagialah bagi yang menang, dan bersabarlah bagi yang kalah, tapi jangan sampai berlebihan-lebihan dalam merayakan kebahagiaan. Sekaligus mencegah hadirnya kekuasaan yang otoriter yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa,” tuturnya.
Jatmiko menegaskan, itulah contoh dari Abu Bakar Ash Shiddiq RA ketika pertama kali dipilih menjadi khalifah langsung berpidato yang di antara penggalannya adalah soal keterbukaannya atas kritik jika kepemimpinannya terdapat kesalahan.
“Oleh karena itu di hari yang baik ini, sebesar apapun kesalahan saudara-saudara kita terhadap kita, maka marilah kita maafkan. Mohon maaf lahir dan batin, atas kesalahan, keterlambatan dan kekhilafan dalam bermu’amalah interaksi selama ini,” kata alumnus Pascasarjana UIN Raden Mas Said Surakarta.
Jatmiko menutup khotbah dengan pesan, “Marilah sepulang dari salat ini kita mengikhlaskan meridakan, kesalahan-kesalahan saudara kita. Mudah-mudahan Allah senantisa memberikan kebaikan dan keberkahan kepada diri kita, keluarga kita, masyarakat kita dan bangsa serta negara kita,” pesannya.