Beberapa hari lalu Imam Heri Purnomo mengubungi saya untuk mengirimkan video singkat ucapan selamat hari lahir MAN 2 Banjarnegara karena dipandang sebagai salah satu alumni yang berhasil. Menerima ajakan itu, saya tertegun cukup lama. Sebab, merasa masih jauh dari kata berhasil. Bukankah kerjanya masih serabutan? Tetapi juga tidak kuasa untuk menolak. Sebagai jalan tengah, seuntai memoar saya tulis sebagai kado ulang tahun MAN 2 Banjarnegara ke-59 pada 1 Oktober 2024 mendatang.
Memoar ini tidak berkisah tentang kegairahan cinta remaja, seperti film Gita Cinta dari SMA yang baru-baru ini diproduksi kembali dengan versi baru. Tetapi, berkisah tentang pergumulan seorang pelajar menumbuhkan cita-cita agung di tengah keterbatasan yang dialaminya. Mengapa bukan sisi percintaan yang diangkat sebagaimana roman atau pun novel-novel remaja pada umumnya? Sederhana jawabnya, karena saat itu benih-benih cinta belum menemukan lahan yang tepat.
Memilih MAN 2 Banjarnegara
Bulan Juni 1990 lulus SMP Negeri 1 Wanadadi, ayah memberi dua opsi untuk melanjutkan jenjang SLTA yaitu belajar di pesantren atau madrasah. Bila memilih SMA tidak bersedia membiayai, karena pelajaran agama sangat sedikit. Keinginan ayah adalah sekolah harus sekaligus ngaji (belajar ilmu-ilmu umum sekaligus ilmu agama). Singkat cerita, memilih melanjutkan ke MAN 2 Banjarnegara. Pertimbangan sederhana: di kampungku Dagan, Bondolharjo banyak lulusan PGAN yang mulai tahun ajaran 1990/1991 beralih-fungsi menjadi MAN 2 Banjarnegara. Kami merupakan angkatan pertama, kakak kelas adalah PGAN. Teman sekampungku ada tiga yang turut mendaftar: Misyono, Khadriyah, dan Muklas.
Jarak kampungku dengan madrasah terbilang jauh, sekitar 25 KM. Setiap hari berangkat jam 6.00 WIB berjalan kaki sekitar 20 menit menuju terminal Wanadadi, dari Wanadadi ke Banjarnegara naik mini bus, saat itu kami menyebut “bis mikro”, memerlukan sekitar waktu 40 menit. Saat itu tidak ada satupun siswa yang naik sepeda motor, semua menggunakan angkutan umum sehingga setiap jam berangkat ataupun pulang sekolah pasti penuh sesak dan berdesak-desakkan.
Ayah saya sangat sederhana dan mengajarkan anak-anak untuk hidup hemat, seorang PNS golongan rendah (seorang guru agama) dengan 6 anak. Ajaran hidup hemat bukan hanya dalam hal makanan ataupun pakaian, tetapi juga masalah pendidikan. Pada saat itu ampir setiap guru menyarankan (bukan mewajibkan) setiap siswa untuk membeli buku pelajaran, tetapi saya sangat jarang membeli. Ketika saya sampaikan buku-buku pelajaran yang harus dibeli, dengan santainya ayah bilang, “Untuk apa membeli buku tulis kalau harus membeli buku pelajaran juga?” Saya tertunduk dan tidak pernah berani membantah sepatah kata pun.
Ketiadaan buku-buku pelajaran ternyata menguntungkan juga, sebab ketika ke sekolah jarang sekali membawa tas. Hanya satu atau dua buku tulis saja yang aku bawa. Biasanya saya masukkan ke saku celana belakang. Berangkat dan pulang sekolah dengan ringan karena tidak usah bawa tas ataupun tumpukkan buku-buku pelajaran.
Untuk menyiasati tidak punya buku-buku pelajaran, saya pinjam dari teman-teman selama dua sampai tiga hari untuk saya baca secara keseluruhan dan diringkas dengan memilih kata-kata kunci serta ditulis dalam kertas folio yang dilipat dua. Kertas ringkasan ini sangat penting, karena di rumah tidak memiliki kamar pribadi dan tidurnya harus berpindah-pindah terkadang di masjid atau di rumah teman-teman yang sedang akrab. Ringkasan selalu saya bawa, ketika malam hari selepas bermain bersama teman-teman saya meluangkan waktu sejenak untuk membaca, atau kalau sudah lelah sekali, pagi-pagi bangun tidur membaca.
Ketika naik ke kelas II, siswa diberi kesempatan untuk memilih jurusan. Ada tiga pilihan, yaitu IPA, IPS, dan Agama. Sesuai dengan nilai raport dan tes IQ saya ditempatkan di kelas IPA. Saya setuju dan masuk kelas IPA. Ketika hari pertama masuk kelas, saya minta langsung pindah ke kelas IPS. Alasannya sederhana, kelas IPA orangnya terlalu serius dan tidak ada teman akrab saat kelas I yang di situ. Akhirnya membulatkan tekad untuk tetap memilih masuk kelas IPS-2 sampai lulus.
Membaca dan pengkajian hobi yang paling kusukai. Mungkin karena kebiasaan ayah yang juga senang membaca. Setiap awal bulan bersamaan dengan menerima gaji juga mendapat majalah Rindang. Biasanya langsung dibaca sampai habis. Sejak SD saya ikut pengajian malam Jumat yang diperuntukkan untuk pemuda dan orang tua. Di situ sering terjadi diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah agama, kalau istilah sekarang masalah-masalah khilafiyah. Sebagai alumni pesantren, ayah sering menyampaikan pendapatnya juga. Yang menarik adalah ketika berpendapat sekaligus menyebutkan sumber rujukannya.
OSIS adalah wadah pembinaan bakat dan minat siswa, di samping itu ada Palang Merah Remaja (PMR) dan Pramuka. Wadah-wadah itu tidak menarik hati saya untuk ikut serta, mungkin karena selepas sekolah harus membantu pekerjaan orang tua, seperti bertani dan beternak. Di luar itu saya aktif dalam kegiatan Pemuda Muslim, organisasi otonom Sarekat Islam, sejak kelas 1 SMP. Kabupaten Banjarengara menjadi salah satu basis gerakan Sarekat Islam. Di sini ketemu dengan tokoh-tokoh kritis.
Tumbuhnya Cita-cita
Benih-benih berpikir kritis tumbuh dari bacaan dan pergaulan. Ketika kelas II MAN saya bertanya pada guru Al-Qur’an, “Mengapa dalam Al-Qur,an Tuhan terkadang mengenalkan diri dengan kata Saya, tapi terkadang dengan kata Kami”. Nampaknya penjelasan dari guru kurang gamblang, sehingga pertanyaan itu terus menggangguku. Ketika di bangku kuliah berkesempatan membaca buku Quraisy Shihab Membumikan Al-Qur’an ternyata ada jawabannya di situ.
Secara keseluruhan lingkungan MAN 2 Banjarnegara sangat kondusif untuk proses tumbuh kembang potensi siswa. Saya merasa kegairahan untuk belajar lebih tinggi lagi semakin menguat ketika menjelang tahun-tahun terakhir. Cita-citaku satu, bagaimana bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi mana, bukan masalah, yang penting bisa kuliah.
Cita-citaku itu tidak singkron dengan rencana ayah. Sejak memasuki kelas III sudah memperingatkan bahwa jenjang SLTA terminal akhir dan tidak ada peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Alasan sederhana, dengan gaji PNS saat itu tidak mungkin bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Meski sudah diperingatkan saya tidak putus asa, justru memacu belajar lebih giat lagi. Dengan prestasi yang baik, siapa tahu dapat meluluhkan hati ayah.
Sekitar bulan Juni 1993 pengumuman kelulusan dan penerimaan hasil ujian. Dengan keterbatasan fasilitas, konon menurut ayah, saya menjadi lulusan terbaik untuk jurusan IPS sehingga dipanggil untuk menerima penghargaan. Meski berprestasi, ayah bergeming dengan keputusan awal. Siang itu dia menegaskan kembali bahwa peluang melanjutkan ke Perguruan Tinggi tetap tertutup. Cita-cita untuk bisa kuliah buyar. Seperti biasa, saya tidak berani membantah apa yang menjadi putusannya. Masuk kamar dan menangis sembari berdoa semoga Allah memberi jalan terbaik untuk hambanya.
Penulis adalah Wakil Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UMS