Pernahkah kita menyadari bahwa jari-jari kita lebih sering menyentuh layar ponsel daripada mushaf Al-Qur’an? Kita lebih akrab dengan notifikasi Instagram daripada panggilan adzan. Kita mungkin hafal nama selebgram dan artis TikTok, tapi lupa nama-nama sahabat Nabi yang dulu memperjuangkan Islam dengan darah dan air mata. Selamat datang di zaman “dunia dalam genggaman” era media sosial.
Zaman ketika suara paling lantang bukan lagi yang paling benar, tetapi yang paling viral. Ketika ukuran kebaikan bergeser, dari amal yang tersembunyi menjadi konten yang ditonton jutaan kali. Di era seperti ini, kita ditantang bukan hanya untuk beragama di masjid, tapi juga beragama di layar ponsel.
Inilah makna Hijrah Digital: meninggalkan gaya hidup digital yang merusak, menuju peradaban digital yang menyejukkan. Hijrah bukan lagi soal pindah tempat, tapi pindah arah dan tujuan dari kesia-siaan menuju keberkahan, dari pamer menuju keikhlasan, dari debat kusir menuju dakwah yang mencerahkan.
Ketika Jempol Lebih Cepat dari Akal
Coba perhatikan: berapa banyak orang hari ini yang asal sebar berita, asal tulis komentar, asal menyindir tanpa berpikir? Bahkan, tak sedikit yang berdakwah dengan cara yang menyakitkan. Mengaku membela Islam, tapi lisannya penuh caci maki. Mengklaim sunnah, tapi hatinya mudah membenci.
Padahal Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Lalu, bagaimana jika yang berbicara bukan mulut, tapi jempol? Maka jempol pun harus bertakwa. Karena di akhirat nanti, bukan hanya lisan yang dimintai pertanggungjawaban, tapi seluruh anggota tubuh—termasuk apa yang kita like, share, dan komentari.
Islam Harus Mencerahkan, Bukan Menyulut Amarah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern sudah sejak awal berdiri tidak hanya mengajarkan agama, tapi mempraksiskan Islam sebagai kekuatan sosial, pendidikan, dan pencerahan. KH. Ahmad Dahlan tidak sibuk berdebat mazhab, tetapi memilih membangun sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.
Dalam Risalah Islam Berkemajuan, Muhammadiyah menegaskan bahwa Islam harus hadir sebagai agama yang rasional, inklusif, dan menjawab tantangan zaman. Dunia digital adalah tantangan besar. Tapi bukan untuk ditakuti—melainkan untuk dikendalikan dan diarahkan.
Maka, kita perlu berhijrah digital. Bukan hanya berganti foto profil Islami, tapi mengubah cara berpikir dan berinteraksi di dunia maya.
Dari “Scroll Tak Berujung” ke “Posting yang Mencerahkan”
Berikut beberapa bentuk hijrah digital yang bisa kita mulai hari ini juga:
1. Berhijrah dari Menonton Hal yang Tak Berguna ke Konten Penuh Makna
Tak semua yang viral itu penting. Kadang kita tertawa, lalu lupa. Tapi ilmu, nasihat, dan kebaikan—meski tak viral—bisa mengubah hidup orang lain. Pilih konten yang menambah iman, bukan yang menambah dosa.
2. Berhijrah dari Perdebatan Sia-Sia ke Diskusi yang Santun
Tak semua hal harus dikomentari. Tak semua perbedaan harus diperdebatkan. Media sosial bukan tempat unjuk benar sendiri, tapi ladang sabar, adab, dan pengendalian diri.
3. Berhijrah dari Gaya Hidup Pamer ke Semangat Berbagi
Bukan soal gaya, tapi makna. Bukan soal foto makanan, tapi apakah ada orang lapar di sekitar kita? Gunakan media sosial untuk menyebar manfaat, bukan sekadar pencitraan.
4. Berhijrah dari ‘Follower’-oriented ke ‘Allah’-oriented
Kita terlalu sibuk mengejar jumlah likes, views, dan komentar. Tapi pernahkah kita bertanya: apakah ini disukai Allah?Karena kelak, Allah-lah yang akan menilai, bukan followers kita.
Dari Mimbar ke Layar
Rasulullah dulu berdakwah dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah. Maka hari ini, medan dakwah kita ada di Instagram, YouTube, dan TikTok. Tapi bukan berarti semua harus jadi ustaz konten. Cukup dengan menjadi netizen yang cerdas, bijak, dan penuh empati.
Sebagaimana Al-Qur’an berpesan:
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sungguh, setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.”
(QS. Al-Isra’: 53)
Umat Islam harus jadi pionir di era digital. Membawa nilai-nilai langit ke tengah hiruk-pikuk dunia maya. Menjadi penyebar damai, penebar ilmu, dan penjaga akhlak dalam jagat digital yang gaduh.
Hijrah Itu Jalan Sunyi, Tapi Penuh Cahaya
Hijrah digital adalah jalan sunyi. Mungkin kita akan diledek karena tidak ikut tren. Mungkin kita akan dikucilkan karena tidak menyukai konten-konten sensasional. Tapi yakinlah, Allah melihat usaha kita.
Nabi bersabda:
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.”
(HR. Bukhari)
Mari jadikan jari-jari ini sebagai saksi amal, bukan saksi dosa. Jadikan akun media sosial kita sebagai portofolio akhirat, bukan hanya portofolio pencitraan. Sebab ketika dunia selesai, jejak digital akan tetap abadi—di hadapan Allah.
Mari berhijrah. Mari mulai dari layar kecil, untuk perubahan yang besar.