SOLO, MUHAMMADIYAHSOLO.COM—Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui Biro Pengembangan dan Sumber Daya Manusia (BPSDM) menggelar Kajian Tarjih yang membahas “Azan untuk Mayit di Liang Kubur dan Jamak Qasar karena Acara.”
Kajian tersebut berlangsung secara daring melalui kanal Youtube tvMu Channel pada Selasa, (14/1/2025). Kajian Tarjih UMS menjadi agenda rutin mingguan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi dosen dan Tenaga Kependidikan UMS.
Pada kesempatan kali ini, mengundang Narasumber dari Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Ustaz Syamsul Hidayat, yang mengupas lebih lanjut tentang tema “Azan untuk Mayit di Liang Kubur dan Jamak Qasar karena Acara.”
Mengawali kajian, Syamsul membahas tentang adzan untuk jenazah di liang kubur yang sering disaksikan di masyarakat sekitar. Ada seorang muslim yang menanyakan hal tersebut, bagaimana tuntunan yang benar. Apakah ada tuntunan azan, mengazankan jenazah di liang kubur sebelum diturunkan, atau sebelum ditimbun dengan tanah.
Menjawab pertanyaan tersebut, Syamsul menyampaikan bahwa hal itu merupakan tradisi. Di Dalam tradisi mengazankan jenazah di dalam kuburan, ada yang mengadzankan dengan dalil qiyas, yaitu diqiyaskan azan untuk bayi yang baru lahir.
“Di beberapa kitab disebutkan, bayi yang baru lahir diadzankan di telinga sebelah kanan dan iqomah sebelah kiri. Maka ada sebagian ulama yang menuntunkan adzan jenazah di kuburan itu dengan qiyas tersebut,” papar Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah.
Sumber Hukum Keempat
Syamsul menjelaskan, Qiyas adalah metode untuk menetapkan hukum Islam dalam kasus yang belum jelas hukumnya. Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat, setelah Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Qiyas dilakukan dengan cara menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum. Perbandingan ini dilakukan berdasarkan kesamaan illat atau kemaslahatan yang diperhatikan syara’.
Ketika azan untuk jenazah itu diterapkan dengan metode qiyas yang dianggap memiliki illat, maka setelah dipelajari oleh tim Divisi Fatwa Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, penggunaan qiyas tersebut lemah, karena tidak memiliki illat yang kuat. Jadi menurut majelis tarjih mengambil dari suatu kitab yang berjudul Taisir At-Tahrir Syarah Kitab Tahrir Fi Ushul Fiqh.
Ia menyampaikan azan yang dikumandangkan kepada bayi yang baru lahir adalah untuk membiasakan mengenal suara azan dan iqomah, yang nantinya saat menjalankan kehidupan sebagai seorang muslim terbiasa memahami suara azan sebagai panggilan shalat. Sedangkan azan kepada jenazah tidak punya fungsi yang dilakukan adzan untuk bayi yang baru lahir.
“Sehingga qiyas itu dalam kajian Ushul Fiqh termasuk Qiyas Ma’al Fariq, qiyas pada sesuatu yang berbeda. Sehingga juga disebut di dalam ilmu ushul fiqh adalah qiyas bathil atau fasid, yaitu qiyas yang tidak benar atau rusak,” tegas Syamsul Hidayat.
Pada pembahasan selanjutnya, Syamsul menerangkan tentang Jamak dan Qashar untuk kegiatan di persyarikatan Muhammadiyah dan amal usahanya, seperti rapat rapat dan baitul arqam. Secara umum di dalam beberapa Kitab Fiqih, orang boleh melaksanakan salat jamak dan qashar apabila dalam keadaan safar (bepergian), sakit (khususnya untuk jamak), hujan (khususnya untuk jamak), atau ketika haji berada di mina (khusus untuk qashar).
Syamsul menjelaskan pengertian jamak yaitu mengumpulkan 2 shalat dalam satu waktu. Dalam hadits nabi yang berkaitan dengan jamak seperti dalam riwayat nasa’i. “Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ salat Zuhur dengan ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan ‘Isya’, tidak dalam keadaan takut maupun safar,” tutur Syamsul yang juga Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) UMS.
Dosen UMS itu juga menerangkan dalam Hadits Ibnu ‘Abbas juga Rasulullah SAW pernah melakukan salat jamak baik dhuhur ashar maupun maghrib isya’ tidak disebabkan karena takut atau karena perjalanan. “Kemudian Ibnu ‘Abbas ditanya kira kira apa yang dimaui Rasulullah melakukan itu, Ia menjawab Rasulullah menghendaki agar dalam melaksanakan kewajiban ibadah kepada Allah SWT tidak mempersulit atau memberatkan umatnya,” tuturnya.
Maka dalam konteks kegiatan di persyarikatan seperti rapat pimpinan, musyawarah pimpinan, muktamar, sidang tamwil, atau baitul arqam, jika melakukan kegiatan tersebut di domisili kita, dapat melakukan seperti yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas yaitu menjamak tanpa hujan, bepergian, dan ketakutan.
“Tapi jika melakukan kegiatan tersebut di luar domisili kita, seperti diundang rapat atau mengisi pengajian di kota lain, maka kita bisa melaksanakan baik dalam kegiatan persyarikatan maupun kegiatan lain yang didalamnya ada unsur safarnya, maka kita bisa melaksanakan salat dengan jamak dan qashar,” pungkasnya.