Segala sesuatu membutuhkan pengorbanan, begitulah kira-kira makna judul tulisan tajuk ini. Muhammadiyah telah mengurusi pendidikan lebih dari seratus tahun dan mencapai aset triliunan rupiah. Hal ini merupakan prestasi besar bagi persyarikatan Muhammadiyah. Membutuhkan pengorbanan yang besar untuk mewujudkan prestasi ini. Pengorbanan ini berasal dari warga Muhammadiyah dengan tenaga, pemikiran, dan harta. Pendidikan Muhammadiyah memasuki fase baru dengan godaan menjadi kapitalis.
Pendidikan yang kapitalis mempunyai aturan tidak tertulis yaitu “semakin tinggi kualitas sekolah maka biaya pendidikan harus semakin mahal”. Biaya pendidikan yang mahal memiliki efek domino. Ini mempengaruhi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berada di daerah pinggiran atau minus secara ekonomi. Sekolah Muhammadiyah pinggiran semakin terdesak karena keterbatasan anggaran. Misi dakwah Islam yang diemban Muhammadiyah menjadi taruhan dalam kondisi tersebut. Sekolah merupakan manifestasi jihad di Jalan Allah SWT bukan sekadar investasi yang menghasilkan. Ini menjadi dilema bagi Muhammadiyah karena harus mewujudkan sekolah berkualitas dengan biaya pendidikan yang murah.
Apabila sekolah berbiaya mahal maka harus menjadi sekolah unggulan. Jika tidak menjadi sekolah unggulan maka itu merupakan kerugian yang besar. Sekolah murah tetapi berkualitas, itu sebuah tantangan. Hal ini memang sulit diwujudkan namun bukan utopia. Muhammadiyah menyadari pendidikan menjadi hak asasi manusia. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Negara juga menjamin melalui undang-udang. Sehingga, Muhammadiyah harus mencarikan solusi terhadap dilema tersebut.
Solusi dilema dana pendidikan maka Muhammadiyah harus memiliki dana untuk mensubsidi sekolah muhammadiyah. Dana subsidi digunakan untuk membesarkan sekolah Muhammadiyah yang berpotensi unggul dan menghidupkan sekolah muhammadiyah yang sekarat. Pengembangan sekolah bisa dibebankan ke sumbangan dana dari siswa namun tidak semua sekolah mampu melaksanakan hal tersebut. Hanya sekolah yang memiliki siswa dari kalangan menengah ke atas mampu melaksanakan hal tersebut. Bagaimana dengan sekolah yang berada di daerah yang mayoritas lemah secara ekonomi?
Ajaran Islam telah menawarkan solusi dalam berbagai bentuk mulai dari zakat, infaq, sedekah dan wakaf. Semua itu merupakan bentuk dari gerakan ta’awun (saling tolong menolong). Gerakan yang sudah ada sejak Muhammadiyah didirikan K.H. Ahmad Dahlan. Warga Muhammadiyah membantu dalam berbagai bentuk uang yang diwujudkan dalam zakat dan infaq. Apabila tidak mempunyai cukup uang maka membantu dengan bentuk sedekah tanpa uang namun tenaga dan pikiran. Semnagat ta’awun seperti yang membuat Muhammadiyah mempunyai ribuan amal usaha dengan triliunan.
Sporadis
Gerakan ta’awun seringkali dilakukan secara insidentil dan sporadis. Muhammadiyah kemudian menyadari gerakan ta’awun harus dikelola dengan manajemen yang amanah, transparan dan akuntabel. Kemudian, Lazismu hadir menjadi lembaga yang mengelola dana ta’awun dari zakat, infaq dan sedekah (ZIS) di Muhammadiyah. Lazismu berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan pengukuhan Menteri Agama RI sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui SK No. 457/21 November 2002. Dana yang dikelola Lazismu dapat menjadi solusi dilema pendidikan. Namun, Ini menimbulkan keraguan mengenai kontinuitas karena dana yang dibutuhkan memang tidak sedikit serta jangka panjang. Muhammadiyah tidak hanya mengurusi pendidikan. Berbagai hal juga harus dibiayai oleh Muhammadiyah. Dana Lazismu hanya menjadi solusi sementara saja.
Memang, potensi zakat memang besar di Indonesia. Berdasarkan catatan dari laman kemenag.go.id maka potensi zakat Indonesia mencapai Rp327 triliun. Apabila Lazismu mampu mencapai target 1% dari potensi yang ada sebesar R3,27 triliun. Itu merupakan potensi yang luar. Namun, Pengelolaan zakat mempunyai aturan yang bersifat qoth’i. Dana Zakat tidak bisa dikelola sembarangan. Dana Zakat tidak fleksibel jika digunakan untuk mendanai pendidikan di Muhammadiyah.
Alternatif solusi yang lain yaitu pengelolaan wakaf. Wakaf mempunyai arti yaitu berhenti secara bahasa. Wakaf juga telah menjadi tradisi di Muhammadiyah dalam urusan ta’awun. Wakaf yang populer di Muhammadiyah yaitu wakaf tanah yang digunakan untuk mendirikan masjid, sekolah, pusat dakwah atau rumah sakit. Tanah wakaf yang dimiliki Muhammadiyah mencapai jutaan hektar. Sayang sekali, tanah wakaf tersebut masih banyak belum tergarap. Hal tersebut terjadi bukan karena tidak ada ide namun pemberdayaan tanah wakaf memang membutuhkan modal yang besar.
Pengelolaan wakaf yang berpotensi menjadi solusi masalah dana pendidikan yaitu wakaf tunai. Ini merupakan terobosan dalam fiqh Islam. Wakaf tunai adalah uang yang diserahkan di jalan Allah untuk dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah atau dakwah Islam yang dikelola sesuai dengan syariat Islam. Uang wakaf bersifat tetap sehingga tidak bertambah dan berkurang namun hasil pengelolaan uang wakaf dapat digunakan untuk kepentingan ibadah atau dakwah Islam. Skema wakaf tunai memang lebih luwes daripada ZIS.
Beberapa universitas di Amerika dan Eropa juga mengelola dana dengan skema seperti wakaf untuk membiayai operasional universitas. Mereka tidak menyebut wakaf tunai karena memang bukan universitas Islam namun menyebut dengan istilah dana abadi atau endowment. Sebelas universitas dunia sedang berkembang melalui endowment, masing-masing University of Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebesar 12 miliar USD, Harvard University (35 miliar USD), University of Cambridge (5 juta GBP), Stanford University (21 miliar USD), California Institute of Technology (Caltech ) sebesar 2 miliar USD.
Universitas Al-Azhar di Mesir juga berhasil mengelola wakaf tunai sehingga biaya kuliah gratis. Masjidil haram mengelola wakaf tunai untuk membiayai operasional masjid. Dua institusi tersebut menjadi contoh best practice dari wakaf tunai dari dunia Islam. Institusi yang dikelola menggunakan dana wakaf atau endwoment hanya tinggal mengembangkan institusi sehingga tidak mengherankan jika universitas di Amerika Serikat dan Eropa sangat maju. Keberhasilan pengelolaan dana wakaf tergantung dari manajer pengelola yang disebut dengan nadzir. Posisi nadzir memang penting bahkan berhak menerima bagi hasil sebesar 10% dari hasil wakaf tunai.
Apabila ingin mengelola wakaf tunai maka yang pertama kali dipersiapkan yaitu sumber daya manusia (SDM) yang dijadikan nadzir. Nadzir dalam dunia ekonomi modern dapat diibaratkan sebagai manajer investasi. Kualitas nadzir harus baik dan kompetensi maka harus disertifikasi. Seseorang diizinkan menjadi nadzir harus tersertifikasi atau lulus uji sehingga nadzir menjadi profesi yang diakui negara. Lembaga yang berhak dan diakui oleh negara untuk mengeluarkan sertifikat nadzir di Indonesia yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Pengembangan pendidikan Muhammadiyah dapat didanai dengan hasil pengelolaan wakaf tunai. Ini merupakan solusi yang cukup efektif, efisien dan holistik. Maka, Gerakan Infaq Pendidikan 111 (GIP 111) Muhammadiyah harus didukung. GIP 111 merupakan langkah awal untuk mendirikan Muhammadiyah Endowment Fund atau dana abadi Muhammadiyah. Apabila menyebut dengan endowment maka pengelolaan wakaf tunai yang digunakan.
Majelis Pemberdayaan Wakaf (MPW) yang harus menjadi leading sector. Alternatif yang lain yaitu menggabungkan wakaf tunai dengan Lazismu menjadi Ziswafmu. Wakaf tunai bukan sekadar wacana. Wakaf tunai menjadi penting untuk segera diwujudkan. Skala prioritas dari pengelolaan wakaf tunai menjadi mendesak.
Pendidikan dan kesehatan menjadi leading sector di gerakan Muhammadiyah Abad ke-1. Muhammadiyah telah memasuki abad ke-2 maka terjadi pergantian leading sector. Lazismu dan Majlis Pemberdayaan Wakaf harus tampil ke depan menjadi leading sector. Ini bukan masalah ego sektoral lembaga.
Warga Muhammadiyah harus menyadari bahwa jer basuki mawa beya. Jika kita ingin menjaga kelangsungan hidup Muhammadiyah harus ada pengorbanan. Pengorbanan tersebut diartikan dengan dana. Maka, Lazismu dan Majelis Pemberdayaan Wakaf harus maju ke depan untuk menyediakan beya atau dana dimaksud.