Saya sering mendengar orang berceramah atau menulis artikel menggunakan kalimat seperti ini, “Sebagai umat Islam, kita harus ‘meneladani’ Rasulullah.” Pada kesempatan lainnya, para penceramah agama juga sering menyampaikan, “Ulama itu ‘pewaris’ Nabi.”
Saya yakin para pembaca juga sering mendengar kalimat seperti itu. Atau kita juga sering menulis atau mengucapkan kalimat serupa. Saya yakin juga, sebagian di antara kita, punya pemahaman yang sama: tak ada yang salah dengan dua kalimat itu! Sebenarnya kita paham maksudnya, sebagai umat Islam kita harus memuliakan Rasulullah. Kita sepakat itu. Demikian pula kata ulama, itu bermakna mulia dalam ajaran Islam.
Namun, saat memuliakan Rasulullah, kita harus melakukannya secara benar. Termasuk saat mengekspresikan hal itu melalui bahasa. Kata guru Bahasa Indonesia, “Berbahasalah dengan baik dan benar.” Baik artinya kita menggunakan bahasa sesuai konteksnya: bahasa formal, nonformal, maupun semiformal. Benar artinya kita menggunakan bahasa sesuai kaidah, misalnya, selaras ejaan yang disempurnakan (EYD) dan mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terbaru. Dalam bahasa orang Muhammadiyah, berbahasa secara berkemajuan.
Saya membuka KBBI daring, menemukan kata meneladani artinya ‘memberi teladan’. Asal katanya teladan, maknanya ‘sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya). Baiklah, saya mencoba menerapkan kata meneladani pada kalimat “Sebagai umat Islam, kita harus ‘meneladani’ Rasulullah.” Kalau mengacu ke KBBI, kalimat itu bermakna ‘sebagai umat Islam kita harus memberi teladan kepada Rasulullah’, atau umat Islam harus memberi contoh yang baik kepada Rasulullah. Enggak dosa tuh kita meneladani Rasulullah? Bukankah Rasulullah yang harus meneladani kita? He-he-he…
Biar benar, kata meneladani bisa diganti meneladan, maknanya ‘mencontoh, meniru’. Sebagai umat Islam kita harus mencontoh, meniru (ajaran) Rasulullah. Ini baru bahasa yang benar. Kita juga bisa mengubah kalimatnya menjadi begini, “Sebagai umat Islam kita harus menjadikan Rasulullah sebagai teladan.” Kita menempatkan Rasulullah sebagai sosok yang patut kita tiru.
Demikian pula kalimat kedua di atas, “Ulama itu ‘pewaris’ nabi.” Kata pewaris di KBBI artinya ‘orang yang mewariskan’. Jadi, ulama itu orang yang mewariskan (kepada) nabi? Tentu tidak pas. Mestinya kalimatnya diubah menjadi, “Ulama itu ‘waris’ nabi.” Waris itu maknanya ‘orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal’. Bisa juga kata pewaris diganti ahli waris yang maknanya ‘orang yang berhak menerima warisan’.
Nilai-Nilai Nabi
Tentu yang kita maksud warisan (dan kata turunannya) pada konteks kalimat di atas bukan dalam bentuk harta, melainkan ajaran Rasulullah. Ulama adalah waris (penerima) nilai-nilai Rasulullah, kemudian ulama meneruskan ajaran Rasulullah itu kepada khalayak. Kalimat di atas sesungguhnya mengandung pesan, bahwa ulama itu posisinya sangat strategis sebagai penerus sekaligus penafsir ajaran nabi. Itu poin pentingnya.
Hal di atas baru dua contoh salah kaprah dalam berbahasa. Salah itu ‘tidak benar’, kaprah itu ‘lazim, biasa’. Kesalahan yang terus diulang sehingga menjadi kelaziman, diyakini sebagai kebenaran. Padahal itu hanya “simulacra”, seolah-olah benar. Bagaimana menyampaikan pesan secara baik dan benar? Kuncinya disiplin verifikasi pada sumber yang sahih dalam berbahasa. Sekali lagi, ini hanya persoalan ketepatan berbahasa. Tidak ada pertimbangan lainnya.
Pada edisi selanjutnya, saya akan mengulas salah kaprah berbahasa lainnya…
Colomadu, 24 Januari 2025