Apakah hari lahir (jadi) atau tanggal kelahiran suatu sekolah (madrasah/pesantren/ universitas) layak dirayakan? Jawabnya ringkas, tergantung konteks dan cara-cara perayaannya. Ada lembaga yang merayakakan milad setiap tahun dan menu kegiatan itu-itu saja, sudah dibakukan sedemikan rupa sehingga menyerupai suatu ritual dalam aktivitas keagamaan. Cara-cara perayaan milad demikian tidak layak dilakukan, menghabiskan energi, tidak kreatif, dan membuka peluang muncul ritualisme baru.
Perayaan milad sekolah bisa mengambil periode atau penggalan waktu tertentu yang memiliki ruang khusus, atau keunikan tertentu. Misal, perayaan sewindu, satu dekade, dua dekade, seperempat abad, setengah abad dan seterusnya. Perayaan berfungsi untuk melihat ke belakang, siapa saja aktor-aktor/pelaku utama dalam proses berdiri dan bagaimana cita-cita awal mereka. Cita-cita para pendiri perlu dirawat, dijaga, dan kembangkan agar amal- jariah para pendahulu tetap mengalir.
Proses perayaan akan lebih sempurna bila mampu melahirkan dokumen atau buku yang menggambarkan bagaimana tantangan yang dihadapi dan bentuk-bentuk tanggapan sekolah dalam menjawab tantangan zaman. Eksistensi sekolah akan sangat ditentukan oleh kejelian dan kecerdasan para aktor dalam membaca tanda-tanda zaman sebagai suatu tantangan di satu sisi dan kejeniusan mereka dalam menjawab tantangan zaman di sisi yang lain.
Sekolah yang tidak mampu merumuskan tantangan dapat dipastikan tidak akan mampu memberi jawaban tepat sehingga program-program maupun kegiatan sekolah terlepas dari aspirasi pendidikan warga masyarakat. Pada akhirnya, cepat atau lambat sekolah berjalan terhuyung-huyung mendekati ajal. Berbeda dengan guru-guru di sekolah unggul yang kaya dengan ide-ide segar, guru-guru di sekolah jelang ajal disibukan dengan suasana saling menyalahkan dan keluh kesah.
Pekan lalu, tepatnya Sabtu, 21 September 2024, berlangsung puncak perayaan sewindu SMA Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kottabarat, Surakarta. Sekolah ini mendapat izin operasional dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah tanggal 9, bulan 9 (September), tahun 2016 (bila dijumlahkan) juga 9. Sebuah angka yang unik, bukan? Meski menarik esai ini tidak akan bicara keunikan angka-angka, tetapi menekankan pada bagaimana lika-liku proses kelahirannya yang tidak melalui jalur normal.
Refleksi Sewindu Kelahiran
Proses kelahiran SMA Muhammadiyah PK Kottabrat tidak melalui jalur normal, tetapi upnormal. Desain awal SMA Muhammadiyah 6 Surakarta akan dikembangkan menjadi SMA Muhammadiyah Program Khusus. Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Banjarsari saat itu, Amien Gunadi dan tim Perguruan Muhammadiyah Kottabarat: Marpuji Ali, Basuki Haryono, Muhdiyamoko, Nur Salam, dan saya sepakat tentang hal itu. Bahkan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Surakarta sudah meng-SK-an proses pendirian SMA Muhammadiyah PK yang merupakan pengembangan dari SMA Muhammadiyah 6.
Namun rencana awal itu buyar, karena kekuatan konservatif yang tidak setuju melakukan manuver. Saat itu bulan Ramadhan, sekitar bulan Mei 2016, dalam rapat koordinasi antara tim Perguruan Muhammadiyah Kottabarat dengan Pimpinan Majelis Pendidikan Dasar dan Menenganh (Dikdasmen) PDM bertempat di Balai Muhammadiyah tidak ditemukan titik temu kelanjutan rencana awal. Dalam situasi buntu tersebut selaku tim dari Perguruan Muhammadiyah Kottabarat, kami memutuskan mendirikan SMA Muhammadiyah secara mandiri, bukan pengembangan dari SMA Muhammadiyah 6.
Implikasi dari pilihan itu begitu rumit bagi Perguruan Muhammadiyah Kottabarat. Saat itu sudah 30-an siswa yang mendaftar, sementara izin operasional belum diperoleh. Sehari setelah rapat kami bertemu dengan Marpuji Ali, selaku Ketua Komite Perguruan, dan saya selaku pengasuh perguruan. Dari pertemuan itu kami berbagi tugas, beliau dan Basuki Haryono, Ketua Tim Pengembang Perguruan, ke Jakarta bertemu dengan pejabat Kemendikbud, dan saya bertemu dengan orang tua siswa yang telah mendaftarkan putra-putrinya.
Dari pertemuan dengan orang tua siswa diperoleh kabar gembira, setelah saya jelaskan duduk perkara yang terjadi dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mendaftar di sekolah lainnya. Respon mereka di luar dugaan. Hampir semua orang tua memilih untuk tetap menyekolahkan putra-putrinya di SMA Muhammadiyah PK. Dengan nada bergurau salah satu orang tua mengatakan, “Kita semua mendokanan proses perizinan lancer,” jelasnya. “Ingin melihat kedigdayaan tim perguruan Muhammadiyah Kottabarat,” tambahnya.
Kabar gembira juga datang dari Jakarta, awalnya bertemu untuk memperoleh memperoleh izin malah masih mendapat tambahan mendapat Unit Sekolah Baru (USB). Proses perizinan harus diproses di Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah. Dalam proses perizinan inilah kami sangat dibantu oleh Widadi, aktivis Muhammadiyah mantan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah, yang menghubungkan kami dengan pejabat Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Sementara itu, untuk kelancaran surat-surat dari Dinas Pendidikan Kota Surakarta sangat dibantu Sekretaris Dinas Pendidikan saat itu, Aryo Widyandoko.

Kedua beliau, Widadi dan Aryo Widyandoko, dapat hadir dalam puncak acara Milad SMA Muhammadiyah PK yang berlangsung di Auditorum Sarsito Mangunkusumo RRI Surakarta. Atas jasa dan sumbangannya yang demikian besar dalam proses perintisan, SMA Muhammadiyah memberikan penghargaan kepada beberapa tokoh: Marpuji Ali, Basuki Haryono, Widadi, Aryo Widyandoko, Mohamad Ali, Amien Gunadi, dan Baidhowi, Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah saat itu.
Mengapa proses pendirian awal begitu rinci diceritakan? Karena dalam peristiwa terjadi hal yang luar biasa, Majelis Dikdasmen yang mestinya berperan besar (lokomotif) dalam proses pendirian suatu sekolah, tetapi tidak mampu menjalankan fungsinya. Peran itu dilakukan oleh aktivis dan simpatisan Muhammadiyah yang tidak ada di struktur Majelis Dikdasmen PDM Surakarta.
Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa di atas adalah jangan sampai Pimpinan Majelis Pendidikan menjadi kekuatan yang justru menjadi penghambat kemajuan sekolah. Kalau kebetulan Pimpinan Majelis orientasi berpikirnya konservatif-birokratis, harus memberikan ruang kepada pimpinan sekolah ataupun aktivis yang memiliki kepedulian pada pendidikan untuk melakukan improvisasi dan eksperimentasi.
Dalam kasus berdirinya SMA Muhammadiyah PK Majelis Dikdasmen memilih opsi kedua, memberi ruang yang luas aktivis Muhammadiyah di luar Majelis Didasmen untuk berimprovasi dan bereksperimentasi.
Semoga tidak ada Pimpinan Majelis yang memilih opsi ketiga, Pimpinan Majelis Dikdasmen berpikir konsevatif-birokratis dan menutup pintu aktivis Muhammadiyah ataupun kepala sekolah yang berinovasi. Bila ada di suatu daerah yang mendapati pimpinan Mejelis Dikdasmen seperti ini, maka dipastikan sekolah Muhammadiyah mengalami sesak napas.
Tentu saja, pimpinan Muhammadiyah harus segera melakukan langkah penyegaran pimpinan Majelis Dikdasmen sebagai Unit Pembantu Pimpinan (UPP), tidak perlu menunggu periodesasi habis. Sekolah Muhammadiyah yang mengalami sesak napas, biar bisa bernafas dengan lega, tidak usah menunggu kehabisan napas.
Penulis adalah Ketua Majelis Pendidikan PDM Kota Solo