Belakangan ini warga Muhammadiyah tengah menikmati angin segar. Bagaimana tidak, tiga isu aktual di Tanah Air semua kompak bicara tentang “kehebatan” organisasi besutan K.H. Ahmad Dahlan, kiai asal Kauman, Jogja itu. Isu pertama adalah soal kenaikan uang kuliah Tunggal (UKT) di kampus negeri. Sembari marah-marah ke pemerintah, publik, terutama netizen, mengelu-elukan kampus Muhammadiyah yang membolehkan mahasiswa membayar dengan hasil bumi. Isu kedua adalah penarikan dana Muhammadiyah yang disimpan di BSI.
Dalam hal ini, Muhammadiyah seolah-olah ingin menunjukkan “taringnya”. “Jangan main-main dengan Muhammadiyah,” begitulah kira-kira kita membaca opini publik. Isu terakhir adalah soal tambang. Ini merupakan isu paling mutakhir dan pamungkas. Meskipun jawaban Muhammadiyah terkait tambang sebenarnya normatif—belum menolak atau menerima– namun masyarakat tetap mengelu-elukan Muhammadiyah. Pada saat yang sama, berbagai potret kesederhanaan elit-elit Muhammadiyah kembali mengemuka.
Fotofoto pimpinan organisasi yang begitu sederhana dibagikan ulang di berbagai platform media. Hingga titik ini, setidaknya sampai sebelum Muhammadiyah menerima tawaran tambang (jika menerima), nama organisasi modernis ini begitu harum. Semerbak mewangi. Keteladanan ini harus dirawat. Bukan karena kita ingin memiliki organisasi yang harum namanya. Namun karena saat ini kita tengah hidup di dunia di mana banalitas dipertontonkan dengan begitu terbuka. Keteladanan elit politik dan tokoh publik semakin langka. Setiap orang menjadi serigala bagi orang lain (homo homini lupus), saling sikut dan saling tikam.
Baca juga: Membumikan Kurikulum Ismuba
Orang besar mencuri hak-hak orang kecil tanpa rasa malu sedikitpun. Untuk melanggengkan keteladanan, Muhammadiyah perlu berbenah setiap hari. Tidak boleh merasa di atas angin. Tidak boleh merasa jemawa. Apalagi sampai mengecilkan yang lain, sombong. Kita perlu melihat lagi pada, misalnya, sistem keuangan di organisasi otonom (ortom). Muhammadiyah perlu mengevaluasi sistem supaya lebih kokoh. Selama ini sistem verifikasi keuangan di ortom tentu sudah ada. Setiap ortom harus melaporkan keuangannya di setiap musyawarah tertinggi masing-masing tingkatan. Dari pusat hingga ranting. Laporan itu bisa diakses oleh musyawirin yang hadir maupun oleh publik secara luas. Ada tim auditor internal yang mengawasi sirkulasinya.
Auditor Eksternal
Di sisi lain, sistem yang ada masih punya peluang untuk lebih diperkuat. Misalnya dengan memperkuat tim auditor, yang jumlahnya selama ini relatif sedikit. Anggota tim perlu diperbanyak dan disenjatai dengan peraturan legal formal yang kokoh. Supaya tidak gentar dan takut terhadap intervensi. Tentu akan lebih menarik jika kita memilih untuk menggunakan auditor eksternal. Setidak-tidaknya, eksternal ortom, yaitu pihak Muhammadiyah (Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan Muhammadiyah). Lebih baik lagi jika ada auditor eksternal profesional. Supaya pengawasan bisa dilakukan dengan lebih independen dan terbuka. Ratusan kantor Lazismu sudah mengawali hal ini. Menjadi lembaga yang berkali-kali diganjar predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari auditor profesional.
Beberapa amal usaha Muhammadiyah (AUM) juga memiliki sistem yang kuat dan kokoh. Sekarang saatnya organisasi otonom mengikuti teladan ini. Untuk menuju ke sana, pimpinan Muhammadiyah perlu turun mengawal secara langsung. Jangan sampai beberapa organisasi otonom yang begitu besar ini terlihat indah di luar namun rapuh di dalam. Ini bisa diinisiasi dari pusat, bisa juga dari wilayah/daerah. Penguatan sistem verifikasi keuangan ini juga penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi. Terutama di tengah runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara.
Kita semua berharap supaya Muhammadiyah terus menjadi teladan bagi bangsa dan negara.