Saya tertarik program historical walking yang diinisiasi Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Muhammadiyah Solo yang diawali pada Sabtu (30/09/2023) lalu. Program ini berupa jalan-jalan menyusuri tempat-tempat penting bersejarah bagi perkembangan persyarikatan, khususnya di Solo. Program ini sebagai ikhtiar serius mengembalikan lagi kepedulian warga persyarikatan kepada sejarah.
Pada debut perdana, peserta diajak mengeksplorasi kawasan Keprabon, seputar Balai Muhammadiyah, di Jl. Teuku Umar No.5, Solo. Sekitar 20 orang warga persyarikatan ambil bagian. Fauzi Ichwani dari MPI PDM Sragen memandu acara jalan-jalan tersebut. Bicara jejak Sang Surya di Kota Solo, kata Fauzi, setidaknya ada tiga kawasan yang wajib diamati, meliputi Keprabon, Kauman, dan Kampung Sewu, atau 3K. Teman di pengurus MPI PDM Kota Solo, Zaki Setiawan, menambahkan sebenarnya bukan 3K tapi 4K, ditambah “Kartopuran”. Oke lah, nanti akan kita kaji bersama-sama.
Keprabon menjadi lokasi benih-benih berdirinya Muhammadiyah di Kota Solo sekaligus pusat gerakan persyarikatan hingga kini. Pengajian-pengajian yang diselenggarakan aktivis kring Sarekat Islam sekitar tahun 1913 kali pertama di rumah Harsoloemekso, di Keprabon. Haji Misbach, salah satu pendiri kelompok pengajian, berinisiatif mengundang pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan untuk menyampaikan pemikiran Islam progresif. Pengajian yang digagas Haji Misbach mendapatkan sambutan luas. Bukan hanya bapak-bapak, peminatnya juga dari kalangan ibu-ibu. Kelompok ibu-ibu ini, menurut Fauzi yang menjadi cikal berdirinya ‘Aisyiyah.
Dulu, Keprabon menjadi pusat kegiatan SATV (sidiq, amanah, tabligh, vathonah), tepatnya di rumah Sontohartono, saudagar kaya saat itu. Rumah itu sekarang bernama Sontohartanan, di Jl. Ahmad Dahlah, Keprabon, Solo. Sontohartanan menjadi pusat kegiatan persyarikatan Solo setelah SATV bertranformasi menjadi Muhammadiyah Cabang Solo pada 1917. Di Sontohartanan pula menjadi tempat Kongres Muhammadiyah di Solo pertama tahun 1929. Jadi, kompleks Keprabon memang menjadi “titik api” gerakan Islam berkemajuan yang dibawa Ahmad Dahlan menyebar di Kota Bengawan.
Saya mengapresiasi antusiasme peserta historical walking ini. Banyak ide menarik selama jalan santai sejarah berlangsung. Peserta meminta agar historical walking tidak hanya mengobservasi Keprabon, melainkan tempat lain yang berada di kawasan 3K atau 4K tersebut. Bahkan bukan hanya dengan berjalan kaki, tapi bisa dengan gowes (naik sepeda) bersama sambil berimajinasi situasi satu abad silam. Ada usul membuat kelompok diskusi untuk membahas tema-tema sejarah persyarikatan. Ada usulan menggandeng majelis lain di PDM Solo untuk merealisasikan ide-ide besar ini. Apalagi sudah ada museum di Balai Muhammadiyah yang bisa menjadi tempat mengeksplorasi sejarah Sang Surya. Dari berbagai usulan itu, saya menangkap ada kerinduan peserta untuk terlibat pada isu-isu sejarah yang masih menjadi isu pinggiran di Muhammadiyah. Masih kalah populer dengan terminologi “amal usaha” di kalangan warga persyarikatan.
Situasi Psikologis
Sesungguhnya mulai muncul kesadaran mendokumentasikan sejarah Muhammadiyah di Kota Solo. Setidaknya ada beberapa buku yang menunjukkan kajian histori Muhammadiyah mulai bergairah. Pertama, Matahari Terbit di Kota Bengawan yang ditulis Mohamad Ali dan Syifaul Arifin. Kedua, Merawat Intelektualisme Muhammadiyah (Refleksi Seabad Matahari Bersinar di Kota Bengawan) yang ditulis Mohamad Ali. Syifaul Arifin juga menulis Muhammadiyah Kiri, Haji Misbach yang terlupakan dan Tersingkirkan terbitan UAD Press. Buku yang menganalisis gaya komunikasi Haji Misbach dari sudut pandang ilmu komunikasi. Buku ini melengkapi kajian sejarah Muhammadiyah di Solo.
Kita menangkap situasi psikologis yang kurang enak saat membahas sepak terjang Haji Misbach. Misbach kadung dikategorisasikan sebagai orang “kiri” karena pemikiran dan gerakannya yang revolusioner melawan kolonialisme dan kapitalisme. Misbach berseberangan dengan Kiai Dahlan dan pengurus SATV lainya tentang bagaimana membawa gerakan Muhammadiyah saat itu. Karena perbedaan pandangan itu pula Misbach tidak masuk menjadi pengurus Muhammadiyah Solo periode pertama karena lebih dulu keluar dari SATV. Dia menempuh jalan lain dalam memperjuangkan idealismenya.
Saya melihat program historical walking menjadi bagian menetralkan situasi psikologis itu. Bukan untuk menghidupkan kembali imaji kita tentang gaya revolusionernya Misbach. Tapi sebagai apaya mencintai sejarah sepenuh hati sekaligus menempatkan sejarah pada posisi yang proporsional. Sejarah adalah fakta. Siapa pun tidak bisa menyangkal. Yang lebih penting bagaimana menempatkan sejarah itu dalam konteks yang tepat dengan pendekatan keilmuwan yang bisa kita pertanggungjawabkan. Saya yakin akan banyak kearifan sejarah yang bisa kita peroleh. Mencintai sejarah merupakan implementasi paradigma Islam berkemajuan. Saya sepakat dengan Fauzi, historical walking adalah ikhtiar mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan kultural.
Ingat, memajukan sejarah juga akan memajukan peradaban. Insya Allah….
Sumber : Buletin Tajdid Pendidikan MPI PDM Kota Solo, edisi 11/2023