Jika berbicara perihal politik dan Muhammadiyah terkhusus politik praktis, agaknya memang bukan bawaan lahir Muhammadiyah. Meminjam istilah Muhadjir Effendi, Muhammadiyah itu ibarat kendaraan, yakni bus. Sedang kendaraan yang kompatibel dengan politik praktis itu adalah dump truck. Maka betapa canggungnya Muhammadiyah ketika harus memodifikasi diri, dari bus sekolah menjadi dump truck pengangkut sampah.
Memasuki usia abad kedua, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan dan persoalan yang lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, Muhammadiyah perlu melakukan refleksi atas peran yang telah dilakukan selama ini sebagai organisasi gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, kemudian menerawang kedepan untuk melakukan ijtihad dalam berbagai bidang dakwah. Tak terkecuali bidang politik.
Narasi yang selama ini dikemukakan oleh berbagai pihak adalah bahwa di Muhammadiyah secara organisasi harus lebih berorientasi pada soft politics ketimbang hard politics. Sedangkan, secara individu kader diberi kebebasan untuk berkiprah di arena politik praktis. Kendatipun di dalam praktiknya tentu masalahnya tidak sesederhana itu.
Muhammadiyah yang terlahir sebagai gerakan budaya tandingan (counter-culture). Dalam Merriam Websters Dictionary, counter-culture diartikan sebagai: “a culture with values and customs are very different from and usually opposed to those accepted by most of society (Suatu budaya yang mempunyai nilai dan adat istiadat yang sangat berbeda dan biasanya bertentangan dengan yang diterima oleh oleh sebagian besar masyarakat)”.
Begitulah Muhammadiyah. Ia datang dengan menawarkan nilai-nilai dan adat kebiasaan yang berbeda bahkan melawan arus terhadap nilai-nilai dan adat kebiasaan yang diterima dan dilakukan oleh sebagian besar masyarakat waktu itu.
Ijtihad Politik Muhammadiyah
Di dalam ijtihad, bagaimanapun Muhammadiyah dituntut untuk selalu membuat langkah-langkah yang kreatif, inovatif, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Begitu pula halnya ijtihad di bidang politik. Sebagai perwujudan dari gerakan tajdid, Muhammadiyah selalu bangkit untuk membuat prestasi baru dan pencapaian baru dalam seluruh aspek, tidak kecuali dalam bidang politik.
Hingga saat ini, ijtihad politik Muhammadiyah bisa dibilang lebih terfokus pada upaya menjaga jati diri Muhammadiyah, sekaligus cerminan dari kurang memuaskannya–untuk tidak menyebut gagal–hasil yang dicapai dalam berijtihad politik. Bahkan terkadang hal itu menjadi sebuah pengalaman pahit.
Sebagai misal apa yang tercermin pada sikap organisasi yang dicetuskan pada Mukatamar ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang, di mana Muhammadiyah menyatakan tidak melibatkan diri di dalam politik praktis. Walau Muhammadiyah menyadari bahwa politik menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, maka gerak dan langkahnya tidak akan bisa lepas dari kehidupan politik.
Sebagai persyarikatan Islam yang sejak awal telah mencanangkan dirinya sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah perlu melakukan evaluasi secara lebih serius. Apakah yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini dalam dakwah ilal khoir dan amar ma`ruf nahi munkar sudah sesuai dengan yang dituntut dan dituntunkan oleh agama, atau paling tidak sudah sesuai dan memenuhi apa yang tertera dalam segala dokumen resmi persyarikatan, di antaranya cita-cita hidup Muhammadiyah.
Secara normatif, Muhammadiyah tentu harus istiqomah sebagai organisasi sosial-keagamaan dan dengan posisi yang demikian dapat berperan lebih leluasa dalam kehidupan ummat dan bangsa. Muhammadiyah harus tetap sebagai organisasi sosial-keagamaan,
Muhammadiyah tidak boleh menjadi partai politik. Muhammadiyah juga tidak perlu secara resmi mendirikan partai politik maupun mensubordinasikan diri pada kekuatan politik tertentu. Adapun keterlibatan dalam partai politik dibiarkan untuk diperankan dan menjadi tanggung jawab orang-orang Muhammadiyah.
Kendati tidak berpolitik praktis, Muhammadiyah dituntut berkiprah di dalam dinamika politik nasional melalui saluran atau artikulasi lain yang lebih sejalan dengan kepribadian dan khittah gerakannya. Muhammadiyah kendati tidak berpolitik praktis sebagaimana halnya partai politik, tidak harus menjauhi politik dan tidak melakukan apapun yang berkaitan dengan politik. Hal yang diperlukan adalah penyesuaian kebijakan, strategi, dan taktik untuk menjalankannya.
Perlunya Fresh Ijtihad
Arah dan masa depan perjalanan Muhammadiyah dalam mengimplementasikan gerakan tajdid perlu redefinisi, reinterpretasi, dan sekaligus reaktualisasi. Dalam bidang politik perlu tetap dan selalu mengedepankan soft politics ketimbang hard politics.
Soft politics merupakan arena perjuangan yang sangat penting dan sekaligus menantang, karena memberikan based line bagi grand design bangsa dan negara ke depan, dan juga sekaligus memberikan inspirasi bagi pola hubungan antar bangsa dan negara di era global yang penuh kompetisi tampa kompromi.
Walaupun demikian, kita harus tetap menyadari bahwa hard politics yang langsung bersentuhan dengan aktivitas kekuasaan juga penting, hal ini mengingat banyaknya amal usaha Muhammadiyah yang perlu dilindungi dari intervensi kekuasaan Negara.
Oleh karena itu, kader Muhammdiyah perlu diberi kebebasan dan sekaligus didukung untuk berkiprah dalam hard politics baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal ini penting, karena untuk menjalin ikatan antara kader Muhammdiyah yang aktif di politik dan birokrasi dengan Muhammadiyah secara organisasi.
Kader Muhammadiyah yang berkiprah di manapun termasuk di partai politik, tetap pada akhirnya harus kembali ke Muhammadiyah. Hal tersebut dimaksudkan agar kader harus punya konstribusi bagi perjuangan persyarikatan, sekaligus membawa nilai-nilai yang diperjuangakan persyararikatan di manapun dia berada.
Kader Muhammadiyah yang bergerak di soft politics dan hard politics perlu saling tegur sapa dan saling bekerja sama, yang dipersatukan oleh kepentingan bersama yaitu memperjuangan visi dan misi persyarikatan.
Atmosfer yang demikian, perlu dikonkritkan dan direalisasikan dalam setiap kepemimpimpinan Muhammadiyah. Dalam Muktamar ke-47 di Makasar, di mana Muhammadiyah menapaki abad kedua usianya, akan sangat membutuhkan pemikiran dan pengkajian ulang atas apa yang selama ini telah dilakukan sebagai organisasi soal keagamaan yang menyandang gelar sebagai gerakan tajdid.
Oleh karena itu perlu bagi Muhammadiyah dalam menapaki babak baru ini melakukan redefinisi, reorientasi dan sekaligus reaktualisasi peran sebagai organisasi gerakan dakwah yang bernapaskan tajdid agar selalu selaras dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Dengan mengacu pada kepentingan Muhammadiyah ke depan, dan sekaligus mengukuhkan perjuangan Muhammadiyah dalam mewujudkan Indonesia dan dunia yang berkemajuan, maka dibutuhkan kemampuan mobilisasi sumber daya manusia.
Maka, Pimpinan Muhammadiyah, khususnya Majelis Pendidikan Tinggi harus menjadi apa yang disebut oleh Buya Syafii Ma’arif sebagai kompas arah yang memberi antara serta ancar-ancar ke arah mana peran Perguruan Tinggi Muhammadiyah harus dikontribusikan bagi perjuangan persyarikatan.
Bagi Majelis Hikmah dan Majelis Kader perlu memberikan rambu-rambu dan tidak kenal menyerah mengingatkan kader Muhammadiyah yang terlibat dalam kegiatan politik praktis agar tetap berada dalam pusaran misi Muhammadiyah. Mengingatkan perlunya sinergisitas para kader yang berjuang di arena soft politics dan hard politics.