SURAKARTA, MUHAMMADIYAHSOLO.COM–Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Solo merealisasikan janjinya menyelenggarakan historical walking, Sabtu (30/09/2023). Historical walking merupakan aktivitas berjalan kaki ke tempat-tempat penting bernilai sejarah bagi persyarikatan Kota Solo.
“Metode historical walking menjadi salah satu medium mengenalkan sejarah melalui kegiatan rekreasi, khususnya jalan-jalan di tempat yang memiliki nilai sejarah. Mempelajari sejarah dengan pendekatan ini memiliki potensi untuk menjadikan sejarah itu menarik dan membumi,” jelas Sekretaris MPI PDM Kota Solo, Hendro Susilo, kepada muhammadiyahsolo.com, saat menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan.
Sore itu, pukul 16.00 WIB, sekitar 20 orang berdiri membuat lingkaran di depan pintu utama Balai Muhammadiyah, Jl. Teuku Umar No. 5 Keprabon, Solo. Mereka dari berbagai unsur, antara lain Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, Pengurus MPI, Pimpinan Cabang Muhammadiyah, dan warga persyarikatan lainnya.
Fauzi Ichwani, pengurus MPI PDM Kabupaten Sragen, aktif di komunitas sejarah, Solo Societeit, menjadi pemandu acara ini. “Jalan-jalan ini kita awali dari Balai Muhammadiyah karena tempat ini punya nilai sejarah penting,” jelas Fauzi.
Historical walking edisi perdana akan mengulik cerita menarik Muhammadiyah di Keprabon. Menurut Fauzi, setidaknya ada tiga lokasi yang punya kisah seru tentang Muhammadiyah : Keprabon, Kauman dan Kampung Sewu. Sering disingkat 3 K. Dia menjelaskan peran strategis Balai Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah persyarikatan. Fauzi menunjukkan dokumen beberapa foto Balai Muhammadiyah tempo dulu kepada para peserta.
Fauzi lantas mengajak peserta berjalan kaki ke arah timur. Tujuannya kompleks Sontohartanan, sekitar 300 meter dari Balai Muhammadiyah, tepatnya di Jl. Ahmad Dahlan, Keprabon. Ada masjid di bagian tengah, dan TK ABA di sampingnya. Ada pula rumah tinggal orang yang merawat sehari-hari kompleks Sontohartanan. Di sinilah cikal pergerakan Muhammadiyah di Solo berawal. Sebagai markas SATV (Sidik Amanah Tabligh Vatonah), kelompok pengajian yang didirikan Haji Misbach, dkk pada 1917, sekaligus menjadi awal gerakan modernisme Islam di Solo. SATV dibentuk karena Muhammadiyah belum mendapatkan izin mendirikan cabang di luar Yogyakarta, tempat kelahirannya. Aktivitas dan struktur organisasi SATV mirip dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, seperti ada Majelis Pustaka, Majelis Pendidikan, maupun Majelis PKU. K.H. Ahmad Dahlan menjadi “pengasuh” pengajian-pengajian di SATV. Dulu, kompleks Sontohartanan milik R. Sontohartono, saudagar kaya yang menjadi penyandang dana kegiatan SATV dan Muhammadiyah di awal berdiri, termasuk mewakafkan percetakan (sekarang Percetakan Persatuan) kepada Muhammadiyah Kota Solo. “Ini menunjukkan jiwa kerelawanan sudah menjadi etos persyarikatan sejak awal,” urai Fauzi.
SATV bermertamorfosis menjadi Muhammadiyah Cabang Solo pada 1917 dan diresmikan pada 13 Agustus 1922 di rumah R. Sontohartono. Sebagai Ketua Muhammadiyah pertama adalah M. Ng. Sastrosoegondo. Sedangkan M. Mochtar Boechary sebagai wakil ketua, Harsoloemekso sebagai sekretaris, dan R. Sontohartono sebagai bendahara. Haji Misbach tidak masuk ke dalam struktur Muhammadiyah Cabang Solo karena dia memilih jalan revolusioner dalam perjuangannya. Haji Misbach memutuskan keluar sebelum SATV berubah menjadi Muhammadiyah. Dia berbeda jalan pemikiran dengan Kiai Dahlan. Fauzi melanjutkan, Sontohartanan menjadi saksi sejarah sebagai tempat Kongres Muhammadiyah di Solo pertama pada 1929. Dalam waktu bersamaan juga diselenggarakan Kongres ‘Aisyiyah, organisasi perempuan di Muhammadiyah.
Berubah Bentuk
Peserta Historical walking melangkahkan kaki ke arah utara menuju bekas rumah Harsoloemekso yang pada 1913 sering mengundang Kiai Dahlan mengisi pengajian yang diselenggarakan Sarekat Islam. Sayang, bukti fisik bangunan yang menjadi jejak Kiai Dahlan berdakwah di Solo sudah tidak ada karena sudah berubah bentuk. Fauzi menceritakan jemaah pengajian senang dengan materi ceramah pendiri Muhammadiyah tersebut. Itu sebabnya Haji Misbach berinisiatf mendirikan Muhammadiyah di Solo melalui SATV.
Fauzi mengajak peserta menuju ke kawasan Pura Mangkunegaran, tepatnya di seberang Pura Mangkunegaran. Lokasi itu merupakan jalur Ahmad Dahlan saat mengisi pengajian di Solo. Ahmad Dahlan ke Solo selalu naik kereta api, turun di Stasiun Balapan. Saat menuju dan pulang balik ke Jogja selalu melewati Pura Mangkunegaran. Kiai Dahlan terpesona melihat kaum muda pasukan elit Mangkunegara berlatih kepanduan. Dahlan kemudian punya ide mengadopsinya dengan mendirikan kepanduan Hizbul Wathan (HW). Kiai Dahlan bukan hanya melatih kepanduan, tapi juga memasukkan ajaran Islam ke dalam gerakan kepanduan HW.
Titik terakhir perjalanan historical walking selama 90 menit itu adalah di depan rumah klasik, persis di samping utara Balai Muhammadiyah Solo. “Itu adalah rumah AW Gani,” jelas Fauzi sambil menunjuk rumah dimaksud. AW Gani seorang tentara pelajar yang aktif di HW. Dia memelopori lahirnya Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathon (PS HW), klub sepakbola internal di Persis Solo. Pada 1939 PS HW binaan AW Gani ini memenangi Liga Persis Solo.
Pada kesempatan ini Fauzi menjelaskan relasi Muhammadiyah dengan penguasa Mangkunegaran. Fauzi menunjukkan foto Mangkunegara VIII, Penguasa Pura Mangkunegaran saat itu, dengan latar belakang simbol Muhammadiyah. Penguasa Pura Mangkunegaran tersebut dikabarkan punya kartu anggota Muhammadiyah (NBM). Bahkan pendahulunya, Mangkunegara VII, mewakafkan tanah untuk Muhammadiyah yang saat ini dipakai SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo. Bukti itu, lanjut Fauzi, menunjukkan penguasa lokal saat itu sangat mendukung gerakan Muhammadiyah. Fauzi pun berharap, kegiatan historical walking ini menjadi ikhtiar penting bagi Muhammadiyah untuk menggerakkan dakwah kultural.
Di forum ini banyak usulan dari peserta agar acara seperti ini menjadi acara rutin MPI Solo. Bukan hanya berupa historical walking menyusuri tempat lain, bisa juga dengan membentuk komunitas pencinta sejarah persyarikatan dengan melakukan kajian, diskusi kecil untuk merawat narasi sejarah berharga di Kota Solo.
Dalam rapat kerja MPI PDM Kota Solo bebera waktu lalu, telah menyepakati program historical walking ini akan memanfaatkan museum Muhammadiyah di Balai Muhammadiyah sebagai bagian dari pembelajaran kemuhammadiyahan bagi pelajar Muhammadiyah dan warga persyarikatan pada umumnya.
Tepat pukul 17.35 WIB, kumandang azan magrib menggema dari Masjid Balai Muhammadiyah. Azan mengakhiri kegiatan yang telah berlangsung sekitar 90 menit ini. “Sampai jumpa pada historical walking berikutnya,” ujar para peserta sambil berjalan menuju masjid untuk salat berjemaah.
Semoga….