Pada tahun 2006 kami mendapati SD Muhammadiyah Malangjiwan, Colomadu, Karanganyar dalam kondisi sekarat, menjelang ajal menjemput. Dalam setiap rombongan belajar (rombel) jumlah siswa kurang dari lima orang. Bahkan jumlah siswa baru (baca: kelas 1) tahun ajaran 2006/2007 hanya satu orang. Guru-guru sebagian besar wiyata bakti (honorer) yang digaji sangat kecil, dalam kisaran Rp100 ribuan. Ini bisa dipahami karena sekolah swasta gaji guru berasal dari iuran siswa, sedangkan jumlah siswa sedikit apalagi gratisan. Gaji guru praktis dari donasi jemaah pengajian yang dipimpin Mbah Suleman, seorang aktivis Muhammadiyah yang terus berupaya menjaga “nyawa” SD Muhammadiyah Malangjiwan agar terus bisa bernafas.
Dalam waktu yang cukup lama, Kepala Sekolahnya adalah seorang PNS. Mereka mengola sekolah Muhammadiyah layaknya sekolah negeri. Orientasi pengembangan sekolah berkiblat dan menggunakan template atau copy-paste sekolah negeri. Ciri pengembangan sekolah negeri adalah birokratis, top down berdasarkan juklak dan juknis dari atas, monoton, dan cara berfikir jangka pendek. Di sinilah titik kisar yang menentukan, mengapa banyak sekolah Muhammadiyah (juga sekolah swasta lain) mengalami kebangkrutan, ditinggalkan oleh masyarakat.
Orientasi pengembangan sekolah Muhammadiyah sangat berbeda dengan, untuk tidak mengatakan vis a vis dengan sekolah negeri. Sekolah negeri dibiayai oleh pemerintah, sekolah Muhammadiyah dibiayai masyarakat sehingga orientasi pengembangan bukan top down, tetapi bottom up, bukan birokratis tetapi kreativitas, bukan feodalisme tetapi eagaliter, bukan jangka pendeka tetapi jangka panjang. Oleh karena itu, orientasi pengembangan sekolah Muhammadiyah adalah bagaimana memperkuat akar di hati masyarakat, bukan mencari muka ke atasan (pejabat, pimpinan). Langkah untuk itu tidak bisa dengan jalan pintas, melainkan dengan jalan licin dan mendaki yang dilakukan dengan penuh dedikasi, totalitas, dan kesabaran.

Orientasi pengembangan sekolah Muhammadiyah idealnya, untuk meminjam istilah Prof. Moch. Sholeh YAI step by step ongoing process, melangkah tahap demi tahap secara berkelanjutan. David C. Korten menyebut dengan kalimat “pendekatan proses belajar setapak demi setapak” dalam rangka mengembangkan “sekolah menjadi semakin efektif, efesien, dan produktif”.
Pengembangan dari Bawah
Pengelola sekolah Muhammadiyah (kepala sekolah dan guru-guru) maupun penyelenggaranya (Majelis Pendidikan) perlu memahami benar orientasi pengembangan sekolah dari bawah, maju setapak demi setapak dalam rangka mewujudkan sekolah Muhammadiyah yang semakin lama menjadi semakin efektif, lebih efisien dan lebih produktif. Pimpinan Majelis Pendidikan dan pimpinan sekolah Muhammadiyah yang masih berorientasi top down-birokratis harus segera bertobat dan segera bertransformasi diri sesuai dengan orientasi pengembangan sekolah Muhammadiyah bottom up-egaliter.
Baca juga : Saatnya sekolah Muhammadiyah berbenah
Dari kerangka uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa, modal utama memajukan sekolah bukan pada ketersediaan uang yang melimpah. Modal utama perubahan ataupun inovasi sekolah terletak pada perubahan cara pandang, perubahan orientasi berpikir dari para pengelola dan penyelenggara.
Secara empirik hal itu sudah terbukti, SD Muhammadiyah Malangjiwan kemudian bertransformasi menjadi menjadi SD Muhammadiyah Plus menjadi salah satu sekolah yang diperhitungkan masyakarat, dinilai sebagai sekolah berprestasi yang memberikan layanan prima kepada masyarakat. Salah satu prestasi yang membanggakan adalah rangking pertama Ujian Nasional (UN) tahun 2016 se-Kabupaten Karanganyar. Pada akhirnya terpulang pada diri kita masing-masing, sudikah mengubah orientasi pengembangan sekolah dari top down-feodalis-birokratis menjadi bottom up-egaliter-kreatif.
Penulis adalah Ketua Majelis Pendidikan PDM Kota Surakarta