Pimpinan Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Non-Formal (Dikdasmen dan PNF) periode Muktamar Muhammadiyah ke-48 di bawah kepemimpinan Didik Suhardi, Ph.D. mencurahkan perhatian dan mengeluarkan energi besar pada upaya peningkatan mutu sekolah maupun madrasah Muhammadiyah secara merata. Salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan merevitalisasi Pendidikan Khusus Kepala Sekolah/Madrasah (Diksuspala) serta melaksanakan secara masif di seluruh pelosok Tanah Air.
Mengapa di sebut revitalisasi? Sebab, ada tiga perbedaan mendasar pelaksanaan Diksuspala lama dengan Diksuspala model baru. Perbedaan pertama, narasumber maupun fasilitator Diksuspala yang lama adalah pimpinan Majelis Dikdasmen, sedangkan Diksuspala baru narasumber maupun fasilitator merupakan kepala sekolah atau mantan kepala sekolah yang telah terbukti berhasil membesarkan dan menghidupkan sekolah Muhammadiyah. Perbedaan kedua, Diksuspala lama selalu bertempat di Jakarta, sedangkan Diksuspala baru tempat atau lokasi dibagi ke dalam sejumlah region sehingga berpindah-pindah dari satu daerah/region ke region lain.
Terakhir, kurikulum/materi Diksuspala bersifat normatif dan lebih banyak berisi sosialisasi ketentuan Majelis Dikdasmen kepada pimpinan sekolah peserta Diksuspala. Berbeda dengan itu, kurikulum Diksuspala model baru di desain berdasarkan pengalaman kepala sekolah dalam membesarkan sekolah sehingga materi sangat menantang dan benar-benar dibutuhkan kepala sekolah/madrasah. Branding sekolah, growth mindset, perencanaan sekolah, strategi pengembangan sekolah, cara mencari siswa baru, untuk menyebut beberapa materi utama.
Ringkasnya, dengan implementasi Diksuspala model baru akan terjadi proses transformasi secara masif sekolah Muhammadiyah dari sekolah yang tidak dilirik masyarakat menjadi sekolah yang diminati dan dicari. Perubahan dari sekolah kecil yang sakit-sakitan menjadi sekolah besar yang sehat, berubah dari sekolah mediocare menjadi sekolah unggul dan berkemajuan.
Transformasi Sekolah Muhammadiyah
Sampai sejauh ini warga Muhammadiyah seringkali membanggakan kuantitas atau jumlah sekolah/madrasah yang banyak dan tersebar relatif merata mulai dari pelosok perdesaan sampai lingkungan perkotaan. Kuantitas banyak mesti disukuri, namun harus segera diikuti dengan peningkatan kualitas sekolah agar tidak menjadi beban permasalahan yang berkepanjangan baik bagi pengelola, penyelenggara maupun bangsa Indonesia.
Secara umum keadaan sekolah/madrasah menyerupai piramida segitiga normal di mana mayoritas sekolah Muhammadiyah berkualitas rendah, sebagian berkualitas sedang, dan hanya sebagian kecil yang berkualitas tinggi. Implementasi Diksuspala model baru ini bertujuan mengarusutamakan sekolah unggul berkemajuan sedemikian rupa sehingga bisa membalikkan piramida segitiga menjadi piramida terbalik (upnormal) dengan menempatkan sekolah berkualitas tinggi di atas dan keberadaan merata di seluruh daerah.
Setelah mengikuti dari dekat dan turut berpartisipasi dalam pelaksanan Diksuspala region ke-2 di Medan yang berlangsung 8-11 Agustus yang diikuti 267 peserta, nada optimisme muncul. Ini artinya peluang terjadinya proses transformasi sekolah Muhammadiyah sangat besar, karena selama Diksuspala terjadi gesekan, benturan, percikan ide-ide baru dan penyamaan frekuensi antara narasumber/fasilitator dengan peserta. Bahkan antarpeserta sendiri juga pergulatan gagasan tentang bagaimana memajukan sekolah Muhammadiyah.
Sebagaimana disinggung di muka, fasilitator sekaligus narasumber berasal dari kepala sekolah atau para mantan yang telah terbukti berhasil membawa kemajuan sekolah. Direktur Diksuspala, Fahri adalah mantan Kepala sekolah yang mampu mengangkat reputasi SMK Gondanglegi, Malang. Agus Suroyo membesarkan perguruan Muhammadiyah Mujahidin Gunungkidul, Agus Suroyo juga membesarkan MBS Prambanan, Solikhin membesarkan SD Muhammadiyah Pucang, Ali Musyafa berhasil merintis dan membesarkan SMP-SMA Muhammadiyah Ahmad Dahlan (Muad) Lampung, untuk menyebut beberapa nama fasilitator terkemuka.
Setelah Diksuspala rampung proses pendampingan terus dilakukan baik konsultasi langsung (luring) maupun secara daring (online) sehingga para peserta yang benar-benar bersemangat untuk memajukan sekolah benar-benar terdampingi secara penuh dalam proses pengembangan sekolah. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kepala sekolah untuk berdiam diri dalam sunyi dan membiarkan sekolah Muhammadiyah terlantar dan mati suri.
Tentu tidak bijak bila langkah-langkah kemajuan dari kepala sekolah tidak dibarengi dengan semangat dari pimpinan Majelis Dikdasmen setempat untuk melakukan hal serupa. Mereka dari unsur pengelola yaitu kepala sekolah, maupun majelis Dikdasmen sebagai penyelenggara perlu bergandeng tangan, berkolaborasi dan bersinergi untuk memajukan sekolah Muhammadiyah. Keluhan dari sejumlah kepala sekolah peserta Diksuspala bahwa peran dan dorongan dari majelis masih sangat minim, untuk tidak mengatakan menjadi penghambat, harus didengarkan oleh pimpinan Majelis Dikdasmen.
Pada akhirnya sukses pelaksanaan Diksuspala bukan saja terletak pada kelancaran jalannya proses kegiatan, tetapi dilihat dari sejauhmana atau seberapa banyak kepala sekolah yang merasa terinspirasi dan tergerakkan untuk memajukan sekolah/madrasah Muhammadiyah seusai kegiatan berlangsung. Kepala sekolah yang tergerakkan untuk memajukan sekolah Muhammadiyah merupakan anak panah dan pioner kemajuan sekolah Muhammadiyah di daerah masing-masing.
Tugas majelis Dikdasmen adalah mendampingi dan mencarikan solusi bersama atas permasalahan yang muncul dan mengubahnya menjadi suatu peluang dalam pengembangan sekolah. Bukankah Majelis Dikdasmen merupakan mitra kepala sekolah dalam mencerdaskan anak bangsa?
Benih-benih kemajuan yang ditaburkan dan ditanam melalui Diksuspala harus menjadi momentum bersama untuk mentransformasikan sekolah/madrasah Muhammadiyah dari sekolah “hidup segan mati sungkan” menjadi sekolah yang sehat, unggul dan berkemajuan. Dari sekolah yang ditolak siswa menjadi sekolah yang dicari, dirindukan dan bahkan sampai menolak siswa. Semoga…
Penulis adalah Ketua Majelis Pendidikan PDM Kota Solo