Ketika menulis judul esai di atas, penulis terinspirasi dari hikmah kisah di masa Nabi Sulaiman. Ada kisah dua orang ibu yang bertemu dan meminta penyelesaian sebuah masalah. Mereka berdua membawa satu orang bayi dan saling mengklaim sebagai ibu yang telah melahirkan bayi tersebut. Bahkan keduanya bersumpah atas nama Tuhan.
Menghadapi situasi yang pelik tersebut, Nabi Sulaiman malah meletakkan bayi tersebut di atas meja dan akan dihunuskan pedang yang sangat tajam ke arahnya. Kedua wanita yang sama-sama mengaku ibu bayi tersebut diminta menyaksikan hal itu.
Nabi Sulaiman menawarkan solusi untuk membagi satu bayi tersebut menjadi dua bagian. Masing-masing diberikan bonus kain kafan dan peralatan pemakaman untuk bayi.
Mendengar solusi tersebut, kedua wanita tersebut terdiam dan gelisah. Namun, hanya satu yang terlihat lebih gelisah. Saat Nabi Sulaiman mengangkat pedangnya di atas bayi tersebut, salah satu wanita tersebut berteriak dan mengaku itu bukan anaknya.
Akhir kisah, justru Nabi Sulaiman memberikan bayi kepada wanita yang mengaku bukan ibunya. Ibu yang sejati, tidak akan tega melihat bayinya binasa dengan alasan apapun. Bahkan rela jika anaknya “dimiliki” orang lain asal anaknya tetap selamat.
Di kehidupan yang nyata di dunia ini, kita akan menemukan karakter dari kisah kedua wanita di atas. Karakter “ibu palsu” yang suka mengaku, atas nama “nafsunya” untuk mengusai dan memiliki, dia akan tega mengesampingkan nalar dan hati nurani.
Untuk meraih ambisinya tersebut, tipe manusia seperti ini tidak akan ragu untuk menyusun skenario, menyusun kebohongan, menebar fitnah, dan memoles fakta dengan muslihat. Termasuk menipu orang tuanya sendiri. Karakter seperti ini tidak pernah berpikir panjang tentang peradaban dan masa depan kemanusiaan.
Karakter ibu yang asli dalam kisah di atas banyak juga kita jumpai. Mereka yang secara sadar dan tulus, rela mengalah bahkan sampai mengorbankan hak pribadi demi kasih sayang, kemanusiaan dan keselamatan generasi yang akan datang. Karakter seperti ini tidak memperdulikan siapa yang “memiliki”, namun yang terpenting adalah keberadaan objek yang dipertentangkan akan memberikan manfaat bagi sesama.
Jika kita cermati dari kepribadian yang muncul dari kisah di atas, nampak kontradiksi. Kepribadian yang hendaknya dimunculkan oleh seorang muslim adalah yang membawa risalah kemajuan, perdamaian, dan kesejahteraan. Muhammadiyah sebagai persyarikatan, memiliki pedoman kepribadian yang akan menuntun pada jalan peradaban tinggi, dengan ciri gerakannya sebagai gerakan Islam, gerakan amar ma’ruf nahi munkar dan gerakan tajdid.
Islam adalah agama peradaban dan kemajuan. Nilai luhur Islam yang menghendaki kemajuan dan progresivitas harus diwujudkan dalam kehidupan nyata di dunia. Jangan sebaliknya, kita justru mereduksi dan membonsai karakter kemajuan oleh perilaku-perilaku kita yang terlena ambisi atau spiritualisme yang sempit. Di persyarikatan Muhammadiyah, ada jati diri pergerakkan dan menjadi pijakan dalam memandu karakter kita, seperti MADM, MKCHM, Khittah Muhammadiyah dan Kepribadian Muhammadiyah.
Generasi muda saat ini perlu memperkuat jati diri dan terus mencoba bergerak untuk memajukkan kehidupan umat. Di pundak pemuda ini ada harapan besar menjadi penyuluh (obor) keadaban masyarakat. Tantangan kehidupan masyarakat saat ini bersifat multidimensi. Kemajuan teknologi, intoleransi, tindakan kekerasan, krisis kemanusiaan, kemiskinan, sampai pada alzeimer sejarah menjadi tantangan nyata kehidupan masyarakat.
Gesekan-gesekan dan saling curiga antar elemen masyarakat kerap terjadi. Sebagai bangsa yang dibangun atas kesadaran kolektif nasionalisme di tengah keberagaman masyarakat, sangat penting merawat dan melestarikan sikap kerjasama membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun umat/bangsa untuk mencapai adil dan makmur.
Guna mewujudkan kepentingan ini, dibutuhkan kepribadian “ibu sejati” seperti yang dikisahkan pada awal tulisan yang berjuang secara sadar dan tulus demi kemanusiaan dan keselamatan generasi mendatang.