Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan pernyataan menarik saat menyampaikan materi Idepolitor yang diselenggaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Yogyakarta, Minggu (6/8/2023) di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ada dua poin penting yang dikemukakan Haedar terkait suksesi kepemimpinan 2024 mendatang. Pertama, Haedar menyatakan bahwa persyarikatan tidak terlibat dalam proses politik lima tahunan karena agenda tersebut merupakan agenda partai politik.
Kedua, Muhammadiyah membebaskan warganya menyampaikan aspirasi politiknya secara bebas kepada partai politik, dengan catatan dilakukan secara cerdas dan rasional. Meski tidak terlibat dalam organisasi politik, persyarikatan mendorong warganya yang punya potensi didorong untuk terlibat. Dengan catatan mereka tidak membawa politik di Muhammadiyah, melainkan kader menjadi agen Muhammadiyah dalam partai politik. “Perbanyak kader Muhammadiyah yang ada di eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga yang lainnya. Caranya ke situ ya harus dipersiapkan,” kata Haedar seperti dikutip situs muhammadiyah.or,id, belum lama ini.
Pernyataan guru besar Sosiologi itu memantik pertanyaan, karena Haedar bilang “cara ke situ ya harus dipersiapkan.” Apakah selama ini persyarikatan telah menyiapkan secara serius para kader yang akan masuk dalam proses-proses politik? Ataukah selama ini kader Muhammadiyah dilepas begitu saja tanpa dipersiapkan melalui pendidikan yang sistematis? Sejauh yang saya tahu, belum ada “sekolah khusus” untuk para calon pemimpin publik yang dilakukan persyarikatan. Dengan kata lain, para kader “dibiarkan” begitu saja tanpa persiapan yang cukup.
Padahal sekolah politik ini sangat penting agar para kader yang masuk ke lingkaran kekuasaan bisa membawa misi Muhammadiyah, membawa obor pencerahan di ranah politik. Misi ini sangat strategis untuk membumikan prinsip-prinsip Islam Berkemajuan dalam wilayah yang selama dinilai “kumuh.”
“Fakir” Politik
Saya tertarik dengan pernyataan Buya Syafi’i Ma’arif, bahwa Muhammadiyah selama ini masih “fakir” secara politik. Bukan hanya minim kader Sang Surya yang masuk posisi strategis, melainkan juga “fakir” untuk bisa memengaruhi konstelasi kekuasaan secara lebih bermartabat. Sesungguhnya Muhammadiyah telah merumuskan nilai-nilai yang sangat baik untuk diimplementasikan dalam ranah publik dan kebangsaan. Buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, juga menyinggung secara khusus membahas tata nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Warga persyarikatan perlu mengambil bagian, bahkan tidak boleh apatis, di bidang politik. Saluran politik tersebut harus digunakan secara positif sebagai wujud muammalah dengan prinsip etika/ akhlak Islam yang sebaik-baiknya untuk tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan keteladanan (uswah khasanah) yang jujur, benar, dan adil serta menjauhkan dari perilaku politik yang kotor, membawa fitnah fasad (kerusakan) dan hanya mementingkan diri sendiri. Kemudian, menggalang silaturahmi dan ukhuwah antarpolitisi dan kekuasan politik yang digerakkan oleh para politisi Muhammadiyah secara cerdas dan dewasa.
Dalam Risalah Islam Berkemajuan, Muhammadiyah berkeyakinan, Islam yang sesungguhnya adalah agama yang mendorong kemajuan dan karena itu ia harus menjadi kekuatan aktual yang menggerakkan pemeluknya memberi kesaksian atas keunggulan agama Islam.
Pengkhidmatan persyarikatan dan kader-kadernya ini sangat luas, menyangkut ranah keumatan, kebangsaan, kemanusiaan global dan pengkhidmatan pada masa depan. Pengkhidmatan dalam kebangsaan berarti keharusan setiap warga negara (dan kader Muhammadiyah) untuk berkhidmat dalam membangun bangsa dan negara. Kewajiban itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari pandangan bahwa Indonesia adalah Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Nilai-nilai ideologi politik Muhammadiyah ini sangat baik sebagai nilai-nilai. Namun, itu saja tidak cukup. Tidak mudah menjadi kader Muhammadiyah yang terjun di dunia politik. Kita tahu habitus politik kita begitu buruk. Bukan hanya harus tahan godaan dari pragmatisme politik, kader Ahmad Dahlan juga dituntut membawa perubahan situasi politik menjadi lebih bermartabat. Mampukah kader Muhammadiyah? Mampu membawa arus perubahan, atau sebaliknya terbawa arus hiruk pikuk politik yang nir visi?
Menyedihkan memang melihat praktik politik di Indonesia yang kian jauh dari nilai-nilai yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Saya tidak perlu merinci karut-marut itu. Kita tahu sama tahulah. Politik yang sejatinya bermakna mulia ini dipraktikkan secara banal. Filsuf Yunani kuno Aristoteles menyatakan tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Demikian juga tujuan negara (dan politik) adalah sama dengan tujuan manusia : mencapai kebahagiaan warganya. Politik adalah jalan meraih kebahagiaan itu.
Dalam situasi seperti saat ini, tanggungjawab besar persyarikatan untuk bisa mewarnai praktik politik untuk membawa kebahagiaan bersama. Politik berkemajuan yang bertumpu pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, kebangsaan, keadilan, kesetaraan, dan demokrasi ini menjadi tugas kader-kader persyarikatan untuk mewujudkannnya.
Gagasan sekolah politik berkemajuan ini saya maksudkan sebagai jalan menuju pengkhidmatan Islam berkemajuan dalam ranah kebangsaan. Tentu yang saya maksud bukan sekolah secara fisik dalam arti yang umum kita pahami. Melainkan sekolah pendidikan politik bagi kader persyarikatan yang potensial untuk menjadi kader publik. Sekolah untuk membumikan nilai-nilai politik yang sudah dirumuskan organisasi. Dengan sekolah ini maka kader persyarikatan diharapkan bisa membawa risalah Islam berkemajuan di dunia politik dalam makna sebenarnya. Menebarkan nilai-nilai pencerahan pada praktik politik yang bobrok ini.
Masih kuatkah kita? Semoga…
Sumber : Buletin Tajdid Pendidikan MPI PDM Kota Solo edisi 8/2023, dengan perubahan beberapa bagian.