Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, kembali mengingatkan posisi politik Muhammadiyah pasca pemilihan umum (pemilu) 2024, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan gugatan terkait sengketa pemilihan presiden. Haedar mengingatkan, persyarikatan bukan oposisi, bukan pula benalu yang menempel pada kekuasaan.
Sikap persyarikatan, jelasnya, adalah moderat, berada di posisi tengah. Tidak berada di kutub ekstrem, antipemerintah atau antistuktur, bukan pula menempel pada pemerintah. Pilihan politik persyarikatan ini, merupakan pilihan politik terbaik untuk menjaga martabat organisasi. Sekaligus menjaga kemandirian organisasi yang berdiri sejak 1912. Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini dikemukakan saat konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (2/5/2024).
Sesungguhnya apa yang disampaikan Haedar Nashir terkait relasi Muhammadiyah dan kekuasaan ini bukan sesuatu yang baru. Hal ini telah menjadi sikap resmi Muhammadiyah sejak lama. Namun, PP Muhammadiyah perlu mengingatkan kembali posisinya pascapemilu kali ini. Kita menyadari, setiap kali pemilu, selalu saja ada dinamika internal di persyarikatan, baik di jajaran pengurus maupun warga Muhammadiyah. Tentu dinamika ini menjadi hal wajar karena Muhammadiyah dihuni oleh jutaan orang, dengan beragam preferensi politiknya. Selama ini Muhammadiyah tidak dalam posisi mendukung calon tertentu karena organisasi ini bukan partai politik.
Muhammadiyah memberi kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai pilihan masing-masing. Muhammadiyah bahkan mendorong kepada kadernya yang memiliki kompetensi untuk aktif terlibat dalam politik praktis. Tentu dengan syarat, mereka wajib membawa misi Muhammadiyah untuk membangun politik Indonesia yang berkemajuan. Konsekuensi dari kebebasan inilah, warga Muhammadiyah begitu berwarna dalam preferensi politik, khususnya setiap pemilu. Inilah titik krusial Haedar Nashir mengingatkan kembali posisi persyarikatan.
Pilihan untuk moderat dalam konstelasi politik menjadi pilihan yang sangat cerdas. Hal itu sesuai dengan prinsip dalam Risalah Islam Berkemajuan. Salah satu basisnya adalah, mengembangkan wasathiyah (tanmiyat al-wasathiyah). Islam adalah agama yang mengembangkan sikap wasathiyah atau tengahan yang menolak sikap ekstremisme dalam beragama dan sikap sosial serta menghindari sikap berlebihan dalam segala hal. Sikap tengahan atau moderat tidak hanya pada posisi keagamaan, melainkan perlu diimplementasikan dalam relasi Muhammadiyah dengan dunia politik.
Tidak Mungkin
Muhammadiyah tidak mungkin mengambil sikap oposisi apalagi antipemerintah. Selain karena Muhammadiyah bukan partai politik, organisasi ini hidup dalam sebuah negara yang dipimpin oleh pemerintahan. Kita tidak bisa menyangkal amal usaha yang dibangun K.H. Ahmad Dahlan dan generasi penerusnya adalah sumbangsih Muhammadiyah tak ternilai bagi bangsa dan negara ini untuk mencapai cita-citanya. Bahkan Muhammadiyah sudah membangun sekolah, rumah sakit sebelum Indonesia Merdeka. Muhammadiyah membutuhkan pemerintah sebagai mitra agar amal usaha tersebut bisa berjalan dengan baik.
Muhammadiyah juga tidak dalam posisi yang terkesan “menjilat” kepada kekuasaan. Misalkan karena ingin mendapatkan posisi strategis di struktur kekuasaan, atau ingin mendapatkan bagian proyek pemerintah. Sekali lagi, tidak! Jiwa kemandirian Muhammadiyah sudah dibangun dan diwariskan sang pendiri, K.H. Ahmad Dahlan sejak 111 tahun silam. Jiwa dan martabat organisasi ini akan terus dibawa hingga kini. Kalau pun ada kader Muhammadiyah yang masuk ke dalam struktur kekuasaan, justru kader itu mendapatkan amanah yang berat untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam berkemajuan dalam ranah kebangsaan. Kalau pun ada bantuan negara yang disalurkan ke Muhammadiyah, seperti kata Haedar Nashir, persyarikatan hanya dalam posisi sebagai “talang” untuk menyalurkan bantuan itu demi tercapainya cita-cita memajukan kualitas kehidupan bangsa ini. Jadi bukan untuk kepentingan Muhammadiyah sendiri.
Muhammadiyah sebagai kekuatan masyarakat sipil perlu terus hadir sebagai pengontrol kekuasaan manakala ada praktik kekuasaan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kenegaraan. Muhammadiyah akan tetap memerankan posisi sebagai mitra kritis terhadap kekuasaan, siapapun nanti yang akan memerintah negara ini. Muhammadiyah harus terus menyampaikan sikap-sikap kritis itu sebagai implementasi ideologi Muhammadiyah yang berbasis pada Islam berkemajuan. Itulah dignity, harga diri Muhammadiyah yang perlu terus kita rawat bersama…