Konflik Palestina-Israel merupakan konflik terpanjang dalam sejarah modern umat manusia. Perang ini tidak dimulai ketika Hamas menyerang Israel 7 Oktober tahun lalu. Namun telah dimulai jauh ketika migrasi besar-besaran orang Yahudi ke tanah Palestina akhir abad ke-19.
Sudah banyak analis ahli yang menyebut bahwa Israel melakukan genosida, menjadi negara apharheid, dan melakukan serangkaian kejahatan perang. Ideologi kanan Israel, dipimpin oleh Partai Likud, secara terang-terangan menginginkan seluruh area Israel Raya, meliputi Tepi Barat, Gaza, bahkan Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Ideologi inilah yang membuat two state solution, solusi damai dua negara begitu sulit tercapai, karena apa yang mereka usahakan adalah pembersihan etnis Arab agar seluruh tanahnya bisa mereka ambil.
Sementara itu, pembicaraan atas topik-topik kunci seperti status Yerusalem, hak pulang bagi pengungsi, dan perbatasan tidak pernah bisa dibicarakan. Oslo Agreement, perundingan damai yang menurut sebagian orang merupakan langkah paling dekat dengan two state solution, tetap gagal membicarakan topik-topik kunci. Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel yang menandatangani Oslo tahun 1993, dibunuh oleh aktivis sayap kanan Israel karena dianggap terlalu lunak pada Palestina. Sejak saat itu, tidak ada Perdana Menteri yang berani melangkah sejauh Rabin, yang sebenarnya langkahnya tidak terlalu jauh.
Sementara itu, one state solution, solusi satu negara dengan hak-hak yang setara bagi Yahudi dan Arab juga tampak semakin musykil. Solusi yang banyak orang sebut sebagai bi-nasional ini sulit diterapkan karena masyarakat Israel menjadi semakin kanan. Pada tahun 2018, negara ini meresmikan Israel Basic Law, sebuah konstitusi yang di dalamnya termaktub bahwa Israel merupakan negara Yahudi, sehingga dengan begitu tegas menciderai hak-hak dua juta warga Arab yang menjadi warga negara Israel. Di sisi Palestina, hal ini juga tidak mungkin, terutama jika kita melihat Hamas yang hingga saat ini masih menolak eksistensi negara Israel. Di panggung internasional, mayoritas negara, sekalipun tidak memiliki otoritas apapun (enforcing power), juga lebih mendukung solusi dua negara, bukan satu negara.
Singkatnya, Palestina sekarang seperti sedang berada dalam posisi yang begitu frustasi. Gencatan senjata tidak kunjung dilakukan. Genosida terus berlangsung. Sementara solusi damai tampak begitu jauh. Dalam konflik jangka panjang ini, bantuan yang diberikan juga harus bersifat jangka panjang. Beberapa tahun silam, Indonesia membangun rumah sakit di Gaza, rumah sakit yang dalam konflik terakhir juga menjadi korban kekejian Israel. Secara ekonomi, Indonesia, terutama Muhammadiyah, telah memberikan sumbangsih yang begitu besar. Namun, toh itu tidak cukup.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan sipil Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Yang juga dibutuhkan saat ini adalah pusat studi tentang Palestina. Hal ini penting mengingat Israel tidak hanya membunuh jiwa, tapi juga membunuh sejarah dan peradaban. Para sejarawan, penyair, dan pelaku budaya di Gaza semakin sedikit jumlahnya. Padahal, melalui mereka, peradaban Palestina akan dikenang. Di masa depan, generasi penerus perlu tahu bahwa dulu pernah ada tanah Palestina yang membentang dari Sungai Jordan hingga Laut Mediterania. Pusat studi ini berperan untuk melanggengkan budaya dan sejarah Palestina, supaya menjadi pelajaran berharga bagi anak cucu.
Proses Panjang
Kedua, pusat studi tersebut bisa menjadi think tank untuk turut merumuskan solusi terbaik bagi konflik ini, mengingat jalan keluar dari konflik ini tidak akan bisa dirumuskan dalam satu malam saja. Ia perlu proses yang panjang dan melelahkan. Lembaga-lembaga think tank seperti ini sudah berdiri di negara-negara Arab dan Barat. Kini, saatnya Indonesia sebagai representasi Islam non-Arab nun jauh di Asia Tenggara turun tangan untuk memberi sumbangsih. Bagaimanapun, Indonesia adalah salah satu negara yang bisa menyatukan nilai keislaman dan demokrasi secara mulus. Hal ini menjadi modal penting bagi usaha penyelesaian konflik berkepanjangan di Timur Tengah.
Ketiga, pusat studi ini penting dalam konteks soft power diplomacy. Hal ini berfungsi untuk meningkatkan posisi Indonesia di kancah global. Dengan memiliki pusat studi yang hebat, Indonesia bisa menawarkan diri menjadi mediator, atau setidaknya pengusul, dari berbagai kebijakan dunia terhadap isu ini.
Apakah hal ini mungkin? Setidaknya, Muhammadiyah memiliki dua modal utama. Pertama, jaringan perguruan tinggi yang luas. Melalui Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah bisa menggalang sumber daya –terutama SDM berupa akademisi–dengan relatif mudah. Kalaupun tidak ada sumberdaya yang cukup, Muhammadiyah bisa mengirim kader-kader terbaiknya untuk belajar tentang konflik ini di universitas-universitas terbaik dunia. Hal ini bukan langkah sulit bagi organisasi yang sudah begitu mapan dengan usia lebih dari seabad ini.
Modal kedua adalah tingginya dukungan publik terhadap isu Palestina. Ketika empat negara Timur Tengah (UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko) melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, menyusul Mesir dan Yordania, Indonesia tetap kukuh menolak segala bentuk normalisasi hingga Israel memberikan kemerdekaan penuh bagi Palestina. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari kuatnya dukungan publik terhadap Palestina. Hampir setiap meletus konflik, masyarakat menggelar demonstrasi di berbagai kota. Hal ini juga ditunjukkan dengan tingginya angka donasi terhadap Palestina. Tingginya dukungan ini semakin memudahkan Muhammadiyah dalam membangun sebuah pusat studi unggul yang fokus pada isu Palestina.
Singkatnya, konflik jangka panjang ini memerlukan penyelesaian jangka panjang. Dukungan ekonomi yang sudah diberikan harus dilengkapi dengan dukungan lain berbentuk pemikiran dan pengkajian. Melalui pusat studi Palestina, keterlibatan Indonesia dalam konflik tersebut akan semakin lengkap.