Di tengah birunya Selat Lembeh dan angin laut yang menari lembut di pantai Sangihe, tersimpan kisah pilu yang jarang terdengar: keprihatinan mendalam sejumlah sekolah swasta yang sedang meredup. Setiap pagi, derap langkah anak-anak di lorong kelas mencipta harapan namun banyak sekolah swasta kini menghadapi tekanan berat yang mengancam keberlangsungan mereka.
1. Tumbangnya Akses Dana BOS, Sebuah Kerentanan Menganga
Sejak tahun 2022, Sekolah Dasar YPK GMIST Para, misalnya, terpental dari pencairan Dana BOS karena belum menyampaikan laporan penggunaan dana tahap sebelumnya secara daring. Dana BOS yang seharusnya menjadi penyelamat operasional—justru menjadi pedang bermata dua:
- Jika tertunda laporan, sekolah otomatis diblokir pencairannya.
- Tekanan administrasi menambah beban bagi kepala sekolah kecil yang terbatas SDM & teknologi.
Hal ini mengundang pertanyaan besar: bagaimana nasib sekolah swasta yang bergantung pada BOS, ketika ketatnya regulasi dan keterbatasan teknologi menyulitkan mereka mengakses dana vital ini?
2. Kekurangan Guru: Tak Hanya Angka, Tapi Nafas Pendidikan
Salah satu persoalan yang makin mencengkeram adalah definisi bahwa guru adalah nyawa sebuah sekolah. Di wilayah Sangihe dan Sitaro, data menunjukkan kekurangan drastis tenaga pendidik di sekolah swasta :
- Ratusan guru PNS mengundurkan diri tiap tahun karena pensiun atau migrasi ke jalur P3K.
- Tenaga harian lepas enggan bertahan di sekolah swasta, karena peluang P3K yang menarik.
- Sekolah swasta kian kesulitan mempertahankan kualitas pembelajaran, karena mengisi formasi kosong nyaris mustahil.
Kekurangan guru berdampak serius: kelas menjadi terlalu ramai, pemetaan terhadap karakter anak tak lagi optimal, dan budaya belajar di sekolah swasta mulai terkikis. Apalagi di daerah perbatasan seperti Sangihe, kualitas guru menjadi kunci membuka jendela dunia untuk anak-anak pesisir dan pulau-pulau kecil.
3. Dibalik Gap Infrastruktur: Dilema Biaya dan Calon Murid
Menurut data BPS dan Wikipedia, Sangihe adalah salah satu kabupaten dengan infrastruktur pendidikan yang cukup lengkap: 207 SD, 62 SMP, hingga perguruan tinggi Politeknik dan akademi agama. Namun infrastruktur ini justru menciptakan ketimpangan:
- Sekolah negeri yang “gratis” menarik banyak siswa, menggerus jumlah calon murid di sekolah swasta.
- Tanpa volume siswa cukup, pendanaan menjadi tidak efisien apalagi jika tidak bisa menggunakan BOS untuk subsidi SPP.
Kini banyak orang tua harus memilih antara sekolah negeri yang penuh, atau mendorong anak ke swasta yang menguras kantong. Akibatnya, beberapa sekolah swasta terpaksa menaikkan SPP, yang justru semakin menjauhkan mereka dari sasaran orang tua menengah bawah.
4. Tekanan Politik Pendidikan & Kebijakan yang Tak Ramah Swasta
Kompas pernah menyoroti: peralihan kebijakan seperti penambahan daya tampung di sekolah negeri tanpa koreksi pada keberadaan sekolah swasta telah menimbulkan konstelasi yang timpang. Data ini terasa nyata di Sangihe melalui:
- BOS yang hanya diperuntukkan operasional, tidak bisa menurunkan beban SPP murid.
- Kebijakan pendidikan yang secara tak langsung “memfasilitasi sekolah negeri” tanpa penguat untuk swasta.
Potensi keruntuhan sekolah swasta bukan sekadar kehilangan ruang belajar, tapi juga memangkas keberagaman model pedagogik, nilai-nilai agama, budaya lokal, dan inovasi yang biasanya lahir dari lembaga swasta.
5. Pemerintah Daerah Melangkah: Antara Dukungan dan Hambatan
Dinas Pendidikan Kabupaten Sangihe sebenarnya tidak tinggal diam. Sejak 2024, mereka menggelar BIMTEK kepemimpinan kepala sekolah (207 orang hadir, termasuk dari swasta) untuk memacu kualitas manajemen sekolah. Namun beberapa tantangan tetap:
- Materi BIMTEK lebih menekankan etika dan adaptasi digital, belum fokus pada pendanaan sekolah.
- Belum ada dukungan sistemik untuk mempermudah pelaporan BOS, atau skema insentif mutasi guru ke sekolah swasta.
Secara lokal, isu ini sudah masuk dalam diskusi DPRD dan dinas terkait. Namun langkah konkret seperti pembebasan biaya pengurusan laporan BOS, atau insentif P3K bagi guru swasta, belum terlihat.
5 Langkah Agar Sekolah Swasta Tetap Berdiri Tegak
Mempetakan jalan keluar, berikut 5 rekomendasi strategis:
- Pelaporan BOS yang dipermudah
Mendigitalisasi ARKAS/ MARKAS ke sistem mobile, dengan pendampingan bagi sekolah kecil. - Sistem insentif guru swasta
Menyediakan jalur luar biasa yang memudahkan guru honorer beralih ke P3K, tanpa meminggirkan sekolah swasta. - Skema BOS fleksibel
Peraturan yang mengizinkan BOS digunakan sebagian untuk subsidi biaya SPP, terutama untuk keluarga kurang mampu. - Kemitraan publik-swasta
Program berbasis local wisdom: sekolah negeri “adopsi” swasta untuk saling berbagi fasilitas, guru, dan kegiatan. - Pendampingan manajerial
BIMTEK lanjutan yang menyasar kepala sekolah swasta dalam manajemen keuangan, advokasi komunitas, dan fundraising.
Apresiasi atau Kehilangan Warisan Pendidikan?
Sekolah swasta di Sangihe bukan sekadar gudang angka murid dan guru. Mereka adalah jembatan nilai lokal, agama, dan inovasi pendidikan, yang berkembang di lingkungan pesisir dan perbatasan. Mengabaikannya sama saja dengan menghapus bagian penting dari mozaik pendidikan Sulawesi Utara.
Ketika satu sekolah lumpuh akibat BOS tertunda, atau satu kelas tanpa guru karena perpindahan, sebenarnya kita sedang mengikis harapan anak-anak. Harapan yang seharusnya tumbuh bersama gelombang Selat Lembeh dan semangat lokalitas.
Sekolah swasta boleh tidak sebesar sekolah negeri. Namun nilai yang mereka tanam jauh lebih bernas jika diberi kesempatan. Mari kita pastikan bahwa perhatian dan kebijakan pendidikan di Sangihe tidak hanya menghitung statistik, tetapi membumikan harapan anak-anaknya.