PABELAN, MUHAMMADIYAHSOLO.COM-Ambisi Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 2025 menjadi salah satu fokus utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Namun, saat mewujudkan keinginan itu banyak tantangan, baik secara nasional maupun global.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Anton Agus Setyawan, mengungkapkan, masalah ketahanan pangan atau food security sudah menjadi isu global yang semakin mendesak. “Dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, cadangan pangan mengalami penurunan drastis, terutama disebabkan oleh perubahan iklim yang memengaruhi produktivitas pangan dunia, termasuk di Indonesia,” ungkap Dekan FEB UMS itu di ruang kerjanya, Sabtu (18/1/2025).
Pada masa Orde Baru, lanjutnya, Indonesia meraih penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) berkat pencapaian swasembada pangan. Namun, sejak itu, hampir semua komoditas pangan Indonesia mengandalkan impor, termasuk beras, jagung, dan kedelai. Di tengah upaya menghentikan impor pangan, Indonesia menghadapi masalah besar pada sektor pertanian. Produktivitas pertanian yang fluktuatif menjadi penyebab utama ketidakstabilan pasokan pangan.
Menurutnya, fenomena ini seringkali terjadi saat panen raya tiba, menyebabkan harga pangan anjlok, sementara pasokan menjadi terbatas di luar musim panen. Situasi ini mengarah pada lonjakan harga dan impor jangka pendek untuk menutupi kekurangan.
“Keberhasilan mencapai swasembada pangan pada pemerintahan saat ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi tantangan tersebut. Menghentikan impor bukanlah solusi mudah, mengingat fluktuasi permintaan dan penawaran pangan yang terus terjadi,” terangnya.
Perubahan Iklim
Masalah seperti perubahan iklim, gagal panen, dan spekulasi harga juga memperburuk situasi distribusi pangan yang tidak terkendali dan berkontribusi pada inflasi pangan tahunan. Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan kebijakan food estate di wilayah-wilayah seperti Kalimantan dan Papua untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Menurut Anton, meski kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki pasokan pangan, implementasi di lapangan sering kali menemui masalah, seperti ketidakcocokan antara jenis tanaman dan kondisi tanah, serta minimnya keterlibatan petani lokal.
Masalah terbesar yang dihadapi adalah distribusi pangan yang tidak efisien. Bahkan ketika hasil panen berhasil, tantangan dalam transportasi dan distribusi pangan ke Jawa – sebagai pusat konsumsi terbesar – menghambat kelancaran pasokan. Hal ini berpotensi memperburuk ketidakstabilan harga pangan di pasar, dan menjadi salah satu pekerjaan rumah besar bagi pemerintah ke depan.
“Pencapaian swasembada pangan di Indonesia pada 2025 membutuhkan lebih dari sekadar perencanaan yang baik. Eksekusi yang matang dan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik tanah serta keterlibatan petani lokal sangat penting untuk memastikan keberhasilan jangka panjang,” tegasnya.
Anton menegaskan bahwa pemerintah perlu memperbaiki sistem distribusi pangan, mengatasi gangguan yang disebabkan oleh perubahan iklim, serta mengatur strategi yang lebih efisien dalam menghadapi fluktuasi harga komoditas pangan.