Muhammadiyah memasuki usia 112 tahun pada 18 November 2024 lalu. Ini artinya persyarikatan telah berhasil menorehkan peran-peran kesejarahan hingga lebih dari satu abad. Kita sebagai warga persyarikatan pun yakin dan optimistis Muhammadiyah akan terus eksis menebarkan gerakan pencerahan di semesta ini di masa yang akan datang.
Pertanyaan di benak kita adalah, apa resep Muhammadiyah bisa bertahan dari dinamika sejarah yang keras ini? Sehingga bisa menjadi gerakan sosial keagamaan yang terbesar di muka bumi? Ya, salah satunya karena keikhlasan, kerelawanan, kedermawanan, dan sikap tanpa pamrih para aktivisnya terlibat dalam menggerakkan Muhammadiyah. Lebih dari seabad lalu, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, telah membuat “mantra”, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Nasihat Kiai Dahlan ini tentu benar-benar melekat di kalangan pengikut Muhammadiyah.
Mereka rela mewakafkan harta benda, termasuk tanah, mewakafkan tenaga dan pikiran yang semata-mata untuk membesarkan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan: menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Hal ini yang menjadi rahasia mengapa Muhammadiyah terus bergerak menebarkan misinya. Tidak main-main, aset Muhammadiyah kini telah mencapai lebih dari 320 triliun. Sebagian dari aset ini adalah pemberian suka rela (wakaf) dari warga Muhammadiyah. Aset yang diakumulasi dari hasil kerja keras, kerja ikhlas dan kerja cerdas para aktivis persyarikatan.
Muhammadiyah pada periode awal, para saudagar batik dan orang-orang kaya yang menghidupi organisasi ini. Hidupnya persyarikatan benar-benar dari sokongan anggotanya. Para saudagar ini dengan suka rela menyerahkan harta bendanya untuk Muhammadiyah. Kita masih ingat saat Kiai Dahlan membutuhkan uang 500 gulden untuk menggaji para guru dan karyawan sekolah Muhammadiyah. Kiai Dahlan menabuh kenthongan untuk memanggil orang Kauman Jogja berkumpul. Ternyata Kiai Dahlan ingin melelang barang-barang pribadinya untuk membayar gaji guru dan karyawan sekolah Muhammadiyah.
Tawaran Kiai Dahlan ini disambut baik oleh warga Kauman yang umumnya para saudagar batik. Mereka dengan suka rela menyerahkan uang untuk kebutuhan sekolah Muhammadiyah. Meski Kiai Dahlan hanya membutuhkan uang 500 gulden, hasil lelang berhasil mengumpulkan uang 4.000 gulden. Uniknya, orang-orang yang berkumpul tersebut tidak mau membawa pulang barang-barang yang dilelang. Mereka hanya menyerahkan uang saja. Dari kasus ini kita bisa merasakan jiwa-jiwa kerelawanan ini sudah menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Pengorbanan Kiai Dahlan yang berniat melelang barang-barang pribadi di rumahnya untuk membiayai sekolah Muhammadiyah menjadi teladan yang luar biasa.
Mewakafkan Diri
Kita berharap, jiwa-jiwa kerelawanan ini akan terus menyala di usai Muhammadiyah yang ke-112 ini. Orang-orang yang aktif di Muhammadiyah semata-mata demi menghidupi Muhammadiyah, bukan sebaliknya, mencari penghidupan. Atau memanfaatkan Muhammadiyah sekadar “kendaraan” mencari penghidupan di luar sana. Kita perlu mengingatkan terus soal ini di tengah makin menguatnya arus pragmatisme di persyarikatan. Seiring perkembangan luar biasa Muhammadiyah di bidang amal usaha ini, kita khawatir ada orang-orang yang memaanfaatkannya untuk sekadar mencari nafkah. Bahwa amal usaha membutuhkan para profesional yang perlu mendapatkan imbalan yang setara dengan tenaga dan pikiran mereka, namun hendaknya situasi itu tidak menghilangkan aspek kerelawanan sekaligus pengkhidmatan mereka dalam mengurus Muhammadiyah. Bagaimanapun keikhlasan, kedermawanan, dan kerelawanan ini menjadi roh Muhammadiyah yang harus terus kita pelihara. Roh itu yang akan membuat Muhammadiyah memiliki resiliensi dalam dinamika kehidupan yang serba tidak pasti ini.
Bukan hanya mereka yang bisa menyumbangkan harta dan bendanya untuk Muhammadiyah. Kita juga harus mengapresiasi setinggi-tingginya para aktivis Muhammadiyah yang benar-benar mendedikasikan tenaga dan pikiran untuk menggerakkan Muhammadiyah di berbagai lini. Mereka telah bertahun-tahun terjun mengurus Muhammadiyah. Mereka rela berada di garda depan, baik itu di amal usaha Muhammadiyah, maupun di lembaga maupun institusi sosial dan kemanusiaan, seperti di lembaga amil zakat Lazismu, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDCM), di Panti Asuhan Muhammadiyah, di masjid Muhammadiyah dan sebagainya. Mereka rela mewakafkam hidup mereka untuk misi sosial, kemanusiaan, maupun keagamaan.
Mereka adalah orang-orang yang menjadi motor sekaligus roh pergerakan persyarikatan. Roh ini yang perlu terus dirawat, dipupuk, dan dipertahankan. Tanpa kehadiran orang-orang seperti mereka, Muhammadiyah tak akan bermakna apa-apa. Sampai kapanpun, Muhammadiyah memerlukan jiwa-jiwa keikhlasan, kerelawanan, kedermawanan para penggeraknya. Merekalah lokomotif penggerak Muhammadiyah berikut gerbong-gerbongnya. Insya Allah…
Tajuk ini pernah dimuat di Majalah Langkah Baru edisi September-November 2024