- Pendahuluan
Pengertian waktu salat, adalah waktu-waktu ibadah salat lima waktu (Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh) ditambah dengan Imsak, terbit matahari, dan waktu Duha. Waktu-waktu pelaksanaan salat telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yang kemudian dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan amal perbuatannya sebagaimana hadis-hadis yang ada. Hanya saja waktu-waktu salat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an maupun hadis hanya berupa fenomena alam, yang kalau tidak menggunakan ilmu falak tentunya akan mengalami kesulitan dalam menentukan awal waktu salat.
Karena perjalanan semu matahari itu relatif tetap, maka waktu posisi matahari pada awal waktu-waktu salat setiap hari sepanjang tahun dengan mudah dapat diperhitungkan. Dengan demikian orang yang akan melakukan salat pada awal waktunya menemui kemudahan. Di sisi lain, karena salat itu tidak harus dilaksanakan sepanjang waktunya, misalnya salat zuhur tidak harus dilaksanakan dari pukul 12.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB terus menerus, melainkan cukup dilaksanakan pada sebagian waktunya saja. Khusus untuk waktu subuh, Muhammadiyah mengoreksi waktu imsak dan subuh, yaitu dengan memundurkan waktu sekitar 8 menit dari perhitungan yang dilakukan Kementerian Agama serta lembaga lainnya. Misalnya jika waktu imsak versi Kementerian Agama pukul 04.14 WIB, versi Muhammadiyah akan jatuh pada pukul 04.22 WIB. Waktu awal salat subuh versi Kemenag 04.24 WIB, versi Muhammadiyah 04.32 WIB.
- Landasan
- An-Nisa: 103
فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
- Al-Baqoroh: 187
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
- Al-Isro : 78
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
- Hadits ‘Aisyah riwayat Bukhori:
كُنَّا نِسَاءُ المُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَاةَ الفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بمُرُوطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إلى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ، لا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الغَلَسِ.
Kami, wanita-wanita Mukminat, pernah ikut salat fajar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menutup wajahnya dengan kerudung, kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing setelah selesai salat tanpa diketahui oleh seorangpun karena hari masih gelap.
- Pembahasan
Pengetahuan tentang waktu salat sangatlah penting, karena mengetahui masuknya waktu salat menjadi dasar sah atau tidaknya salat itu. Para ulama menyepakati, sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW, bahwa awal waktu salat subuh adalah saat terbit fajar sadik. Hanya saja kapan fajar sadik itu terbit, hal ini menjadi perdebatan yang sejak lama terjadi di kalangan para fukaha dan ulama Islam.
Di Indonesia untuk waktu lama masyarakat mempraktikkan -20º. Namun sejak munculnya tulisan yang dimuat secara serial dalam Majalah Qiblati dan kemudian dibukukan dengan judul Koreksi Awal Waktu Subuh yang menyatakan bahwa awal waktu subuh di Indonesia terlalu pagi (24 menit sebelum kemunculan fajar sadik). Pendapat ini didasarkan pada kesaksian di beberapa lokasi saat azan subuh terdengar, fajar sadik belum terbit. Kasus ini akhirnya memperoleh perhatian para pengkaji astronomi Islam di Indonesia untuk mengkaji dan melakukan penelitian tentang awal waktu Subuh.
Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah juga berpedoman bahwa ketinggian matahari untuk subuh -20°. Ini berbeda dari hasil kajian dan penelitian awal waktu subuh yang menunjukkan ketinggian matahari lebih rendah daripada -20°. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Sunah (Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah), berkepentingan untuk melakukan kajian dan penelitian awal waktu subuh dengan memadukan aspek syar’i dan sains agar hasilnya sesuai dengan pesan nash dan perkembangan zaman.
Tiga Lembaga
Sesuai rekomendasi Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 pada 16-19 Rabiul Akhir 1431 H/1-4 April 2010 tentang persoalan awal Subuh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar. Yaitu Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Jakarta.
Penelitian menggunakan serangkaian instrumen modern dan metode analisis untuk menginterpretasikan hasil penelitian. OIF UMSU menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) untuk menguantitasi perubahan tingkat kecerahan langit (TKL). Pengambilan data dilakukan di Kota Medan, Pantai Romantis (Kabupaten Deli Serdang), dan Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah). Lokasi penelitian di OIF berada pada daerah dengan polusi cahaya yang buruk. Sementara itu, polusi cahaya di lokasi Pantai Romantis dan Barus lebih baik daripada di OIF. Durasi pengambilan data dari tahun 2017 – 2020 (Ramadan 1438 H – Zulkaidah 1441 H) dengan SQM diarahkan ke 0º, 30º, 45º, dan 90º (zenit).
Hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode Moving Average. OIF UMSU menyimpulkan bahwa polusi cahaya berpengaruh terhadap ketinggian matahari sebagai penentu awal waktu subuh. Selain itu, tinggi matahari yang terendah yaitu -16,48º untuk data SQM yang mengarah ke Zenit.
Olah Data SQM
Pastron UAD juga menggunakan SQM yang diarahkan ke Zenit. Pengambilan data dilakukan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Polusi cahaya di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul lebih baik daripada kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Penelitian dilakukan pada 2016 (Syakban 1437 H – Rabi’ul Awal 1438 H), 2017 (Rabi’ul Akhir 1438 H – Rabi’ul Akhir 1439 H), dan 2020 (Syakban 1441 H). Moving Average juga digunakan untuk mengolah data SQM. Pastron UAD menyimpulkan nilai TKL dipengaruhi oleh fase bulan selain adanya polusi cahaya.
Hal ini juga memengaruhi nilai tinggi matahari sebagai awal waktu subuh. Semakin tinggi polusi cahaya maka awal waktu subuh yang diperoleh dari pengolahan data menjadi lebih siang daripada waktu dengan menggunakan perhitungan ketinggian matahari -20º. Tinggi matahari yang terendah yang berhasil diukur yaitu -15,75º.
ISRN Uhamka selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera Drone. Pengambilan data dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia (Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta, Cirebon, Gunung Kidul, Labuanbajo, Bitung, Balikpapan, Manokwari) dan luar negeri (Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Turki, dan Saudi Arabia).
Pengambilan data dilakukan dari 2017-2020 (Jumadil Akhir 1438 H – Zulkaidah 1441 H). ISRN menyimpulkan dari 750 hari data Subuh (data terbit fajar) berbagai daerah di dunia beragam, yaitu -18,4º, -18º, -17º, -16º, -15º, -14º, -13º, -12º, -11º, -10º, -9º, -8º, -7º. (selengkapnya lihat lampiran 1).
Selain hasil riset tiga lembaga internal tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengundang para pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, yaitu, Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc dan Dr. Mahasena Putra. Hasil kajian keduanya dapat dipahami bahwa mayoritas ketinggian matahari awal subuh adalah minus 18º. Hasil riset yang sama disampaikan oleh para peserta Munas Tarjih, seperti Sugeng Riyadi, Bahrul Ulum, dan Adi Damanhuri.
Kriteria Awal
Begitu pula hasil riset yang berjudul “Reevaluation of The Sun’s Altitude for Determination Beginning of Fajr Prayer Times in Malaysia oleh Mohd Zambri Zainuddin dkk menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 18º. Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu subuh pada ketinggian matahari minus 18º seperti, Turki, Inggris, Perancis, Nigeria, dan Malaysia.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan persoalan penentuan saat terbit fajar sebagai awal waktu subuh merupakan persoalan ijtihadi. Untuk itu, melalui proses kajian yang mendalam baik aspek syar’i maupun hasil observasi sesuai Manhaj Tarjih yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dan mempertimbangkan kemaslahatan, maka Munas Tarjih ke-31 pada tanggal 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442 H/29 November–20 Desember 2020 menetapkan ketinggian matahari awal waktu subuh adalah -18º (minus 18 derajat) di ufuk bagian timur.
- Penutup
Pada Munas Tarjih ke-31 pada tanggal 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442 H/29 November–20 Desember 2020 menetapkan ketinggian matahari awal waktu subuh adalah -18º (minus 18 derajat) di ufuk bagian timur. Hal ini sebagai wujud langkah konkrit Muhammadiyah dalam mempedomani tentang kriteria waktu subuh didasarkan pada hasil riset yang dilakukan oleh tiga lembaga yakni OIF UMSU, ISRN Uhamka dan Pastron UAD.
Selanjutnya hasil Munas Tarjih ke-31 di-tanfidz melalui Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 734/Kep/I.0/B/2021 tentang Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang Kriteria Awal Waktu Subuh. Keputusan tersebut mengubah ketinggian matahari awal waktu subuh minus 20 derajat yang selama ini berlaku, ditetapkan ketinggian matahari awal waktu subuh yang baru yaitu minus 18 derajat di ufuk timur.
Penulis adalah Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Solo
Sumber tulisan: https://linktr.ee/bulletintajdid yang dikelola Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Solo.