Kurikulum Merdeka dan Tantangan Nyata di Sekolah
Kurikulum Merdeka hadir bukan sekadar perubahan kebijakan pendidikan, tetapi menjadi harapan baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Esensinya sederhana namun mendalam: menciptakan generasi yang kuat secara intelektual, tangguh dalam karakter, dan menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat. Dengan semangat itu, pembelajaran dirancang lebih fleksibel, kontekstual, dan tentu saja berpusat pada peserta didik.
Namun, semangat tersebut tidak serta-merta menjawab semua permasalahan di ruang kelas. Di lapangan, guru tetap menjadi ujung tombak yang harus memaknai, menerjemahkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai kurikulum ini dalam realitas yang sering kali penuh keterbatasan. Salah satu tantangan besar yang dirasakan secara nyata adalah rendahnya kemampuan literasi dan numerasi peserta didik.
Kemampuan literasi menjadi fondasi utama dari setiap proses pembelajaran. Tanpa kemampuan membaca yang memadai, peserta didik akan kesulitan memahami materi apa pun, baik dalam pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, maupun Matematika. Namun yang sering terjadi, bahan bacaan yang digunakan dalam pembelajaran sering tidak disesuaikan dengan kemampuan aktual membaca siswa. Di sinilah pentingnya panduan penjenjangan bacaan dan strategi pembelajaran berdiferensiasi.
SMPN 8 Satu Atap Tabukan Utara: Sekolah Penggerak dengan Semangat Refleksi
SMPN 8 Satu Atap Tabukan Utara adalah satu dari sedikit sekolah di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang menjadi pelaksana Kurikulum Merdeka sebagai Sekolah Penggerak Angkatan 2. Sejak tahun pelajaran 2022/2023, sekolah ini telah menggunakan Kurikulum Merdeka dalam kegiatan belajar mengajarnya.
Saya sendiri adalah satu dari dua belas guru di sekolah ini, mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sebagai guru yang mengemban amanah di wilayah perbatasan, menjalankan Kurikulum Merdeka menjadi tantangan tersendiri—tetapi sekaligus menjadi peluang untuk berbenah dan berkembang. Setiap proses pembelajaran menjadi ruang refleksi: apakah murid saya sungguh belajar? Apakah cara saya mengajar sudah menjangkau semua anak?
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya pada elemen Membaca dan Memirsa, saya menerapkan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan kesiapan belajar dan gaya belajar siswa. Pada awalnya, semua peserta didik mendapatkan bahan bacaan yang sama, tetapi disesuaikan prosesnya: siswa dengan kesiapan tinggi membaca secara mandiri, siswa dengan kesiapan sedang dibantu oleh tutor sebaya, dan siswa dengan kesiapan rendah dibimbing oleh guru.
Namun hasil refleksi menunjukkan bahwa strategi ini belum cukup. Siswa dengan kemampuan membaca rendah belum mencapai tujuan pembelajaran. Ini menjadi titik balik: saya harus berani mengubah pendekatan, bukan hanya prosesnya, tetapi juga kontennya.
Menyesuaikan Konten: Strategi Baru, Tantangan Baru
Pada pertemuan selanjutnya, saya mulai menerapkan diferensiasi pada konten, yaitu memberikan bahan bacaan yang berbeda sesuai dengan kemampuan membaca peserta didik. Tidak lagi menggunakan satu jenis teks untuk semua, melainkan menyediakan buku bacaan berjenjang dari Sistem Informasi Buku Indonesia (SIBI).
Bacaan tersebut tidak hanya berupa teks, tetapi juga dilengkapi gambar dan tampilan visual menarik (multimodal)untuk mempermudah pemahaman. Tujuannya tetap sama: agar peserta didik mampu memahami informasi dan menemukan makna tersurat maupun tersirat dari teks fiksi dan nonfiksi.
Dalam praktiknya, saya menggunakan klasifikasi pembaca menurut Chall (1983):
- Pembaca Semenjana (C) – untuk peserta didik yang masih membaca secara perlahan dalam paragraf-paragraf sederhana.
- Pembaca Madya (D) – untuk siswa yang sudah mampu membaca beragam teks dengan tingkat kesulitan menengah.
Tentu saja, tantangan pun muncul. Salah satunya adalah keterbatasan jaringan internet di sekolah kami yang berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Untuk mengatasinya, saya mengunduh terlebih dahulu semua bahan bacaan dari SIBI sebelum pembelajaran berlangsung, lalu mendistribusikannya kepada peserta didik berdasarkan kesiapan mereka.
Aksi Nyata di Ruang Kelas
Pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan membangun suasana kelas yang hangat dan komunikatif. Saya menjelaskan tujuan pembelajaran, yaitu memahami informasi dari berbagai jenis teks, baik yang dibaca maupun didengar. Pembelajaran dilanjutkan dengan kegiatan membaca nyaring, di mana peserta didik mengulangi bacaan yang dibacakan oleh guru dan kemudian berdiskusi atau bertukar informasi secara berpasangan.
Setelah itu, peserta didik menerima Lembar Kerja (LKPD) yang dirancang dengan mempertimbangkan kesiapan belajar dan konten bacaan yang berbeda:
- Siswa dengan kemampuan membaca rendah mendapatkan buku bacaan jenjang Semenjana, dengan teks yang lebih sederhana.
- Siswa dengan kemampuan sedang membaca buku jenjang Madya dengan jumlah halaman sedang.
- Siswa dengan kemampuan tinggi membaca teks yang lebih panjang, masih dalam jenjang Madya, tetapi dengan tantangan pemahaman yang lebih kompleks.
Dengan metode ini, setiap siswa merasa ‘pas’ dengan bacaannya. Mereka tidak merasa terlalu ditekan, tetapi juga tidak merasa bosan karena tantangan terlalu ringan.
Hasil dan Refleksi: Dampak Positif dari Pendekatan Personal
Setelah beberapa kali pertemuan dengan pendekatan ini, saya mulai melihat perubahan signifikan pada peserta didik:
- Kemampuan memahami informasi meningkat, dibuktikan melalui hasil asesmen formatif dan LKPD.
- Kepercayaan diri siswa dalam membaca meningkat, karena mereka merasa mampu menaklukkan teks sesuai kemampuan mereka.
- Lingkungan kelas menjadi lebih suportif, karena setiap anak diberi ruang tumbuh sesuai kebutuhannya.
Refleksi yang dilakukan di akhir pembelajaran juga menjadi kunci. Saya mengajak peserta didik untuk mengungkapkan kesulitan dan keberhasilan mereka secara terbuka, dan dari sana saya menyusun strategi lanjutan untuk pertemuan berikutnya.
Mengapa Pembelajaran Berdiferensiasi Itu Penting?
Pembelajaran berdiferensiasi bukan sekadar metode, tetapi filosofi dalam mengajar: bahwa setiap anak adalah unik, dan karena itu, pendekatan kita harus unik pula.
Menurut teori, pembelajaran berdiferensiasi mencakup tiga aspek:
- Diferensiasi Konten – materi disesuaikan dengan kesiapan dan kemampuan peserta didik.
- Diferensiasi Proses – cara belajar dibuat variatif berdasarkan gaya belajar.
- Diferensiasi Produk – bentuk hasil belajar dapat disesuaikan (presentasi, tulisan, poster, dll).
Pada praktik ini, fokus saya adalah diferensiasi konten, dengan memilih buku bacaan berjenjang yang disesuaikan dengan kemampuan membaca aktual peserta didik, bukan sekadar umur atau kelas mereka.
Pendidikan yang Memanusiakan
Praktik baik ini memberi saya satu kesadaran besar: setiap anak bisa belajar dengan baik, jika kita sebagai guru mampu memahami dan merancang pembelajaran yang tepat untuk mereka.
Kurikulum Merdeka memberi ruang untuk kebebasan itu, tetapi kebebasan tanpa kesadaran justru bisa menjadi jebakan. Maka refleksi menjadi penting. Setiap hari, setiap kelas, setiap siswa adalah cermin: apakah kita sudah benar-benar mengajar untuk anak, atau hanya mengajar materi?
Di SMPN 8 Satu Atap Tabukan Utara, kami belum sempurna. Tetapi setiap usaha untuk menyamakan langkah dengan kemampuan anak adalah bagian dari gerak panjang menuju sekolah yang benar-benar memerdekakan.