Oleh : Reyhan Asri Soleman
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Kata-kata Nabi ini seperti tamparan bagi dunia yang semakin terobsesi pada wajah, pencitraan, dan popularitas semu. Dan di tengah pusaran zaman itu, Muhammadiyah memanggil generasi mudanya: bukan untuk tampil keren, tapi untuk berpikir cemerlang. Bukan untuk disukai kamera, tapi untuk ditulis sejarah.
Di era digital yang menjadikan wajah sebagai modal utama, kita perlu mengulang suara yang lama tenggelam: yang menarik bukan hanya yang goodlooking, tapi yang goodthinking. Karena masa depan Muhammadiyah tidak akan ditentukan oleh wajah yang bersinar, tetapi oleh pikiran yang bernas.
Goodthinking dan Goodlooking
Goodlooking adalah nilai permukaan-penampilan, gaya bicara, dan visual. Sementara goodthinking adalah nilai terdalam cara berpikir, ketajaman analisis, dan sikap kritis terhadap realitas.
Kader goodthinking adalah mereka yang menjadikan akal sebagai alat tajdid, hati sebagai fondasi perjuangan, dan ilmu sebagai peta langkah. Mereka inilah pewaris sejati KH. Ahmad Dahlan, yang bukan dikenal karena ketampanan, tetapi karena keberanian menafsir Al-Ma’un menjadi gerakan sosial yang mengakar.
Perkaderan Berbasis Akal dan Amal
Dalam Pedoman Perkaderan Muhammadiyah, disebutkan bahwa kader harus memiliki tiga watak dasar: ideologis, intelektual, dan organisatoris. Tujuannya jelas: mencetak pemimpin umat yang berilmu, berakhlak, dan berani mengubah.
Perkaderan di Muhammadiyah bukanlah seremoni. Ia adalah proses ijtihad kolektif untuk membentuk manusia berkemajuan—yang tidak hanya menguasai retorika, tetapi mampu menyusun konsep, memecahkan persoalan umat, dan menyambung risalah Islam ke zaman baru.
Lantas, bagaimana mungkin kita menilai seorang kader dari feed Instagram-nya, bukan dari framework berpikirnya?
Prioritaskan Ilmu, Bukan Ilusi
Allah berfirman:
“Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar: 9)
Ayat ini bukan sekadar pujian untuk ulama, tetapi juga prinsip dasar dalam menilai kualitas seseorang—ilmu lebih utama daripada rupa. Dalam Himpunan Putusan Tarjih, dijelaskan bahwa menuntut ilmu dan berpikir kritis adalah bagian dari ibadah dan jihad intelektual.
Karenanya, kader Muhammadiyah sejati tidak puas jadi sorotan, tetapi ingin jadi solusi. Tidak bangga dikenal, tapi bangga jika pikirannya menyalakan cahaya di tengah kegelapan umat.
Fenomena Kosmetik Kaderisasi: Banyak Gaya, Minim Gagasan
Kini muncul kader-kader yang sibuk tampil, tapi miskin isi. Aktif saat difoto, pasif saat diskusi. Gemar membuat konten, tapi enggan membaca buku. Fenomena ini bukan hanya memprihatinkan, tetapi berbahaya.
Jika kaderisasi dibajak oleh budaya visual—maka yang muncul bukanlah pelopor, tapi figur tanpa arah. Padahal, Muhammadiyah bukan panggung, tetapi peradaban. Bukan selebrasi, tapi gerakan tajdid yang menuntut pemikiran dan komitmen tinggi.
Mengapa Goodthinking Lebih Menarik dan Dibutuhkan
Pertama, pikiran itu abadi, wajah itu fana. Penampilan bisa memudar, tapi ide dan gagasan akan terus hidup dan dikenang.
Kedua, Muhammadiyah dibangun oleh kekuatan pemikiran. KH. Ahmad Dahlan, Nyai Walidah, Ki Bagus Hadikusumo, Buya Hamka, hingga Haedar Nashir adalah contoh orang-orang yang mengguncang zaman bukan dengan penampilan, tapi dengan pikiran dan keikhlasan.
Ketiga, karakter Islam berkemajuan mensyaratkan nalar dan nilai. Sebagaimana ditulis dalam Risalah Islam Berkemajuan, bahwa kader Muhammadiyah harus menjunjung tinggi “tafaqquh fid-din, pencerahan, dan integritas amal.”
Maka tak heran jika Haedar Nashir berulang kali menekankan bahwa:
“Kader Muhammadiyah tidak cukup hanya aktif, tapi harus tercerahkan secara ideologis dan intelektual.”
Kader Goodthinking adalah Masa Depan Gerakan
Bayangkan jika Muhammadiyah dipimpin oleh kader yang hanya goodlooking—tanpa pemahaman ideologi, tanpa kemampuan berpikir, dan tanpa komitmen sosial. Maka Muhammadiyah akan jadi organisasi yang gagah di luar, tapi kosong di dalam.
Sebaliknya, kader goodthinking bisa saja tampil sederhana, tapi pikirannya membangun sistem, menggagas gerakan, dan menghidupkan nilai-nilai Islam yang membebaskan.
Inilah alasan mengapa perkaderan sejati tidak pernah memuliakan tampilan, tapi mengagungkan kesungguhan berpikir dan bekerja.
Saatnya Kembali ke Nalar, Bukan Sekadar Citra
Mari kita ajukan pertanyaan tajam kepada diri kita sendiri:
Ingin jadi kader yang disukai banyak orang, atau dibutuhkan oleh umat?
Goodlooking hanya menarik untuk beberapa detik, tapi goodthinking menarik untuk generasi ke depan. Kecantikan bisa dipoles dengan filter, tapi pikiran hanya bisa dibentuk dengan ilmu, kesungguhan, dan keikhlasan.
Jika Muhammadiyah ingin menembus abad kedua dengan kekuatan, maka kita butuh lebih banyak kader yang berpikir jernih daripada kader yang hanya berswafoto.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat mereka yang tampil keren,
tetapi mereka yang berpikir dan menggerakkan.























