Di banyak ruang diskusi nasional, gerakan perempuan kerap dibicarakan dalam narasi besar: tentang kesetaraan, keadilan gender, ruang politik, hingga kontribusi dalam kebijakan publik. Semua itu tentu penting. Namun sebagai seseorang yang hidup dan berkegiatan di wilayah kepulauan seperti Sangihe, saya menyadari bahwa kenyataan di lapangan seringkali jauh lebih kompleks dan memerlukan pendekatan yang berbeda.
Kita perlu jujur bahwa tidak semua konsep besar bisa langsung diterapkan secara utuh di daerah seperti ini. Jarak geografis, keterbatasan akses dan informasi, hingga kultur sosial yang kuat membentuk dinamika sendiri dalam gerakan perempuan di sini.
Namun, justru dalam ruang seperti inilah, Nasyiatul Aisyiyah memiliki posisi yang sangat strategis. Organisasi ini tidak hadir dengan gaya “menggurui” atau mengimpor konsep luar, tetapi tumbuh bersama masyarakat. Ia menjadi jembatan antara idealisme gerakan perempuan Islam dan realitas sosial perempuan muda di daerah.
Beberapa tahun lalu, sebagai pengamat dan pegiat isu perempuan, saya merumuskan satu peta jalan gerakan perempuan yang berakar dari refleksi perjalanan gerakan perempuan. Dan saya menemukan banyak relevansi antara kerja-kerja Nasyiah dan konstruksi kerangka gerakan perempuan itu. Salah satunya adalah tentang bagaimana membentuk partisipasi aktif dan kontribusi perempuan. Dalam analisis gerakan ini, untuk membentuk partisipasi aktif dan kontribusi perempuan, diperlukan empat pilar utama: Kesadaran, Akses, Kapasitas, dan Sistem Kontribusi.
1. Kesadaran
Masih banyak perempuan muda di Sangihe yang belum sepenuhnya melihat dirinya sebagai bagian penting dari perubahan sosial. Nasyiah bisa hadir memperkuat kesadaran kolektif bahwa perempuan punya potensi besar dan tidak hanya penting di ruang domestik, tetapi juga di ruang dakwah, pendidikan, dan kemasyarakatan. Dan kesadaran itu, diikuti dengan pemahaman tentang nilai diri sebagai perempuan, muslim, dan bagian penting dari peradaban. Ini adalah pekerjaan yang memerlukan ketelatenan dan pendekatan kultural yang peka.
2. Akses
Wilayah-wilayah terpencil dan kepulauan sering mengalami kesenjangan akses terhadap informasi, pelatihan, dan pengembangan diri. Maka kegiatan-kegiatan Nasyiah perlu menyasar hal-hal yang sederhana namun berdampak: penguatan literasi perempuan, pelatihan keterampilan dasar, hingga pendampingan kesehatan reproduksi, strategi penguatan keluarga seperti konseling keluarga dan parenting Islami.
3. Kapasitas
Tidak cukup hanya sadar dan punya akses, kader perempuan juga perlu terus ditumbuhkan kapasitasnya, baik dalam berpikir, berbicara, maupun mengambil peran. Nasyiatul Aisyiyah Sangihe punya peluang besar menjadi ruang pelatihan kader perempuan muda: dengan pendekatan spiritual, sosial, dan kepemimpinan yang seimbang.
4. Sistem Kontribusi
Di sinilah kita perlu mulai membangun sistem. Nasyiah bisa menjadi wadah kontribusi nyata: dari gerakan kebersihan lingkungan, konseling keluarga berbasis komunitas, kegiatan edukasi untuk remaja putri, hingga keterlibatan dalam forum musyawarah desa. Semua ini penting untuk menunjukkan bahwa kontribusi perempuan bukan simbolik, tetapi sistemik.
Harapan ke Depan: Nasyiah Sangihe yang Tumbuh, Kuat, dan Relevan
Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, Nasyiatul Aisyiyah Sangihe bukan hanya menjadi organisasi yang mengadakan kegiatan, tapi menjadi pusat pembelajaran dan pemberdayaan perempuan muda di kepulauan. Di mana para kadernya bisa:
Membina ibu-ibu muda dengan kelas keluarga Islami,
Menjadi narasumber forum remaja di sekolah-sekolah dan desa,
Mengelola koperasi atau usaha kreatif yang menopang ekonomi keluarga,
Membangun pusat kajian kecil tentang peran perempuan dalam Islam,
Bahkan menjadi perwakilan perempuan dalam forum musyawarah kampung atau kelurahan.
Di tengah realita Sangihe yang penuh tantangan geografis dan ekonomi, perempuan muda tetap bisa menjadi cahaya perubahan. Dan Nasyiah dapat menjadi lentera yang menerangi arah, bukan dengan teriakannya, tapi dengan kebermanfaatan nyatanya.
Karena sesungguhnya, gerakan perempuan tidak harus selalu terlihat besar dan gemerlap. Di tempat-tempat kecil, dalam kegiatan sederhana, justru sering lahir perubahan yang paling jujur. Nasyiah di Sangihe sedang berada di jalur itu. Dan tugas kita bersama adalah terus merawat semangatnya—agar tetap tumbuh, kuat, dan relevan sepanjang zaman.