Setiap Agustus, bendera merah putih berkibar di setiap sudut negeri. Kota-kota ramai dengan perlombaan, pawai, dan upacara penuh semangat. Lagu-lagu perjuangan berkumandang, mengingatkan kita pada jerih payah para pahlawan yang merebut kemerdekaan 79 tahun silam. Namun, di balik gegap gempita itu, ada kenyataan pahit: banyak rakyat Indonesia yang belum merasakan kemerdekaan sejati terutama kemerdekaan di bidang ekonomi.
Potret ini paling jelas terlihat di pelosok desa, daerah terpencil, dan wilayah perbatasan. Sementara di perkotaan orang berebut diskon kemerdekaan di pusat perbelanjaan, di ujung negeri, ada keluarga yang masih makan sekali sehari. Perayaan kemerdekaan seolah menjadi pesta yang meriah di ruang tamu, tetapi dapur banyak rakyat kita masih gelap dan kosong.
Kemerdekaan yang Belum Menyentuh Perut Rakyat
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024 mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,36% atau sekitar 25,22 juta jiwa. Angka ini memang menurun dibanding beberapa tahun sebelumnya, tetapi kemiskinan di pedesaan masih jauh lebih tinggi dibanding perkotaan. Di desa, angka kemiskinan mencapai 12,22%, sedangkan di kota hanya 7,09%. Artinya, peluang warga desa untuk keluar dari jerat kemiskinan jauh lebih kecil.
Bukan hanya soal penghasilan rendah. Akses pendidikan, kesehatan, air bersih, dan infrastruktur menjadi masalah utama. Banyak anak di daerah terpencil harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah, sementara fasilitas kesehatan hanya ada di pusat kecamatan yang jaraknya berjam-jam perjalanan. Akibatnya, lingkar kemiskinan terus berputar: rendahnya pendidikan membuat sulit mendapatkan pekerjaan layak, sementara kesehatan yang buruk menggerus produktivitas.
Ironi di Negeri yang Kaya Sumber Daya
Ironisnya, banyak daerah miskin ini justru berada di wilayah yang kaya sumber daya alam. Kita bisa lihat contohnya di Papua, Maluku, atau sebagian wilayah Kalimantan. Tanah subur, tambang emas, hutan lebat, dan laut yang melimpah semuanya tersedia. Namun, kekayaan alam ini sering kali mengalir keluar tanpa memberi manfaat maksimal bagi masyarakat setempat.
Fenomena ini sering disebut sebagai paradox of plenty atau paradoks kelimpahan. Kekayaan alam yang melimpah justru memicu eksploitasi besar-besaran oleh pihak luar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Akibatnya, pembangunan di wilayah tersebut berjalan lambat, bahkan tertinggal jauh dibanding pusat kota.
Lebih Sulit daripada Kemerdekaan Politik
Sejarah membuktikan, meraih kemerdekaan politik memang berat, tapi membangun kemerdekaan ekonomi jauh lebih rumit. Bung Hatta, sang proklamator yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, pernah berkata bahwa kemerdekaan sejati hanya akan terwujud jika rakyat dapat hidup sejahtera secara ekonomi. Namun, hingga hari ini, cita-cita itu belum sepenuhnya tercapai.
Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah serius. Laporan Bank Dunia menunjukkan koefisien gini Indonesia pada 2023 berada di angka 0,388 indikator bahwa kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih lebar. Di kota, segelintir orang menikmati kemewahan, sementara di desa banyak keluarga yang tidak memiliki akses listrik atau sanitasi layak.
Pelosok Desa: Panggung Perjuangan Baru
Jika dahulu medan pertempuran kemerdekaan berada di hutan, gunung, dan lautan melawan penjajah, kini medan itu ada di pelosok desa melawan kemiskinan. Pahlawannya bukan lagi bersenjatakan senapan, tetapi berbekal pendidikan, kewirausahaan, dan inovasi.
Banyak kisah inspiratif datang dari desa-desa yang berjuang mandiri. Misalnya, kelompok tani di Nusa Tenggara Timur yang mengolah jagung menjadi tepung dan makanan olahan bernilai jual tinggi. Atau komunitas nelayan di Sulawesi yang membentuk koperasi agar harga ikan lebih stabil. Inisiatif-inisiatif kecil ini membuktikan bahwa dengan dukungan tepat, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.
Mengubah Perayaan Menjadi Perjuangan
Kemerdekaan seharusnya tidak hanya diperingati dengan lomba makan kerupuk atau tarik tambang, tetapi juga menjadi momentum refleksi nasional: apa arti kemerdekaan bagi rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan?
Pemerintah memang memiliki berbagai program bantuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Dana Desa. Namun, bantuan ini hanya bersifat sementara. Yang lebih dibutuhkan adalah strategi jangka panjang:
- Pembangunan infrastruktur yang merata, termasuk jalan, listrik, dan internet.
- Pendidikan dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
- Pengembangan potensi lokal melalui koperasi dan UMKM.
- Akses modal murah bagi pelaku usaha kecil di desa.
Kemerdekaan ekonomi tidak akan datang hanya dengan belas kasihan, tetapi dengan pemberdayaan.
Merah Putih untuk Semua, Bukan Hanya di Kota
Kemerdekaan yang kita rayakan setiap Agustus seharusnya juga berkibar di hati setiap warga desa yang hidup di lereng gunung, tepi laut, atau perbatasan negeri. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai kenyataan bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk hidup layak, sehat, dan sejahtera.
Indonesia tidak akan benar-benar merdeka jika masih ada jutaan rakyat yang bangun tidur dengan perut kosong. Merah putih bukan hanya kain yang dikibarkan, tetapi janji yang harus ditepati: kemerdekaan untuk semua, dari Sabang sampai Merauke, dari kota megapolitan hingga desa terpencil.























