Kezhaliman adalah bentuk kesewenang-wenangan manusia atas anugerah akal yang diberikan Allah SWT baginya, bagaimana tidak. Allah menganugerahkan manusia akal fikiran serta nurani agar dapat dimaksimalkan untuk memberikan kebaikan, menciptakan kedamaian, serta menghadirkan rasa aman antar sesama. Namun, beberapa pihak mengambil jalan yang tak lazim. Hadir sebagai pelaku-pelaku kezhaliman yang seringkali tidak hanya merugikan dirinya sendiri nyatanya juga merugikan orang lain baik dalam skala kecil maupun besar.
Kezhaliman
Kezhaliman berasal dari kata zhalim yang menurut para ulama didefinisikan dalam makna “meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Artinya setiap apa saja yang tidak ditempatkan sesuai penempatannya maka itu adalah bagian dari kezhaliman. Berbuat zhalim sama saja dengan mengundang murka Allah SWT. Betapa tidak, Allah menganugerahkan akal dan nurani kepada manusia selayaknya dan sepatutnya harus dimaksimalkan manusia untuk tidak berbuat zhalim apapun bentuknya.
Realita hari ini menggambarkan kepada kita betapa praktik kezhaliman adalah hal yang lazim, baik, dan terlihat biasa. Kezhaliman layaknya sudah menjadi system yang tak bisa lepas dari setiap lini kehidupan. Praktik kejahatan, kesewenang-wenangan, ketidak-adilan, penyalahgunaan kekuasaan, tata kelola birokrasi yang carut marut identik dengan praktik suap-menyuap yang kotor, dan lain sebagainya. Tanpa sadar, kita ikut mendiamkan kezhaliman in untuk tetap tumbuh dan berkembang.
Saatnya Bukan Untuk Diam
Pemberitaan nasional maupun lokal, baik media cetak maupun daring. Kita cukup disuguhkan dengan hadirnya tindak kezhaliman yang merata di setiap lini kehidupan kita. Dari sisi ekonomi, pendidikan, birokrasi, sosial, kesehatan, dan lainnya. Hampir tidak ada yang terlepas dari tindak kezhaliman ini, kezhaliman yang terstruktur, yang sistemik, pada akhirnya merugikan dan mengorbankan kita semua.
Adanya kezhaliman bukanlah takdir yang harus diterima dengan lapang dada atau harus dihadapi dengan rasa ikhlas dan tawakkal di dada. Tidak, kezhaliman tidak layak dihadapi dengan sikap mulia itu. Kezhaliman harus dilawan, harus ditentang, ia tidak boleh dibiarkan begitu saja. Betapa kompleksnya praktik kezhaliman yang tampak di depan mata saat ini, kezhaliman tetaplah kezhaliman. Ia tak layak untuk didiamkan dan dibiarkan.
Diam bukanlah jawaban utama menghadapi kezhaliman. Sebab melawan daripada praktik kezhaliman adalah sebuah keharusan kita sebagai umat terbaik dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: Ayat 110). Allah SWT mnjelaskan kepada kita bahwa sebagai umat terbaik memiliki tiga kriteria sebagai syarat umat terbaik melekat dalam diri kita:
- Menyuruh kepada yang Makruf (Amar Ma’ruf)
- Mencegah kepada yang Munkar (Nahi Munkar)
- Beriman kepada Allah SWT.
Lantas jika kita memilih diam, maka langkah tersebut bukanlah bagian dari ciri-ciri keislaman yang melekat pada diri seorang muslim sebagai umat terbaik. Bahkan Rasulullah SAW pun mengajarkan kepada kita bagaimana sikap seharusnya menghadapi kezhaliman atau kemungkaran.
Hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata. Rasulullah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
Artinya: “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim 49)
Berdasarkan hadits tersebut, tentunya kita memahami apa langkah yang terbaik kita manakala hadir ditengah-tengah kezhaliman yang merajalela. Maksimalkan kekuatan kita, jika kita punya kekuasaan. Maka tugas kita adalah menghilangkan praktik kezhaliman itu sebagai wujud kita masih punya iman. Jika kita punya kekuatan berbicara, sebagai seorang dai atau muballigh maka sampaikan kebaikan dan kebenaran itu agar yang mendengarkan kita bias tergerak melawan kezhaliman. Sebab diamnya kita adalah bentuk selemah-lemahnya iman dan tentu kita tidak akan terima jika hanya mampu melakukan perbuatan yang lemah dan melemahkan tersebut.
Tugas kita bukan untuk diam, tugas kita adalah untuk bergerak. Ya, bergerak melawan kezhaliman yang semakin merajalela. Jangan sampai menjadi setan bisu, yang diam melihat kemungkaran dan kezhaliman terjadi. Tanpa disadari sikap diam tersebut menunjukkan bahwa kita mendukung praktik itu berlangsung. Tugas kita adalah melawan, tugas kita adalah menghadapi praktik kezhaliman dengan apa yang kita punya. Meskipun mungkin apa yang kita usahakan dan kerjakan tidak memberikan efek apa-apa karena kezhaliman yang begitu besar dan terstrukturnya. Setidaknya kita telah membuktikan pada diri sendiri dan di hadapan Allah SWT. Bahwa kita berada di pihak yang benar dan tidak diam apalagi berpangku tangan pasrah melihat keadaan.
Wallahu A’lam Bish Shawaab