Islam hadir tidak hanya untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk membimbing umat manusia dalam membangun hubungan yang baik dengan sesama. Ibadah dalam Islam memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan: vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Dalam keseharian seorang Muslim, kedua dimensi ini harus berjalan beriringan dan saling menguatkan. Salah satu ibadah yang mencerminkan secara utuh kedua aspek ini adalah ibadah kurban pada Hari Raya Iduladha.
Ibadah kurban, yang dilaksanakan pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah, bukan semata-mata ritual penyembelihan hewan. Ia adalah simbol dari kepasrahan, keikhlasan, dan ketundukan kepada perintah Allah SWT, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Namun lebih dari itu, kurban juga memiliki makna sosial yang sangat dalam, yakni berbagi kepada sesama, menguatkan solidaritas, dan menumbuhkan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam sebuah kesempatan di Jakarta pada Jum’at (6/6), Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dr. Agus Taufiqurrohman, menegaskan bahwa kurban tidak boleh dipahami hanya sebagai bentuk ketaatan spiritual secara individual. Ibadah tidak semata-mata bersifat vertikal. Dalam ibadah kurban, sangat kental aspek horizontalnya, yaitu memberi manfaat kepada seluruh manusia tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan golongan.
Menurutnya, pembagian daging kurban yang dilakukan secara adil dan merata merupakan manifestasi dari semangat persaudaraan universal. Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, melainkan juga menyembelih sifat egois dan individualistik dalam diri kita. Ini adalah bentuk konkret dari bagaimana orang yang diberikan kelebihan oleh Allah, baik dalam bentuk harta, kekuasaan, maupun pengaruh, memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat luas.
Islam memerintahkan agar setiap bentuk ibadah memiliki implikasi sosial. Bahkan Rasulullah SAW pun mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Maka dalam konteks kurban, semangat memberi, berbagi, dan menolong bukanlah nilai tambahan, tetapi esensi utama yang tak boleh diabaikan.
Kelebihan yang Allah titipkan kepada kita, baik harta, tenaga, maupun keahlian, seharusnya menjadikan kita lebih dermawan dan ringan tangan. Jangan sampai kita menjadi orang yang gemar beribadah tetapi abai terhadap penderitaan orang lain.
Ia pun mengajak umat Islam untuk menjadikan momen Iduladha sebagai pengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri. Kurban mengajarkan kita tentang empati dan kepedulian sosial, dua hal yang kini semakin mahal di tengah kehidupan modern yang individualistik. Semangat berkurban, menurutnya, seharusnya tidak berhenti pada hari tasyrik saja. Ia harus menjadi karakter dasar dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang memikul amanah kepemimpinan di berbagai level.
Semangat rela berkorban inilah yang seharusnya tumbuh dalam diri setiap anak bangsa, khususnya para pemimpin. Karena kepemimpinan sejati adalah ketika seseorang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya.
Menariknya, aspek kurban dalam Islam tak hanya menyentuh sisi kemanusiaan. Menurut dr. Agus, Islam juga mengajarkan bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan dan alam sekitar. Maka, ibadah kurban juga harus dilaksanakan dengan cara yang ramah lingkungan, tanpa menyisakan kerusakan atau pemborosan.
Menolong sesama adalah bagian dari ibadah, dan dalam Islam, ibadah itu tidak berhenti di sajadah. Ia harus menjelma menjadi tindakan nyata di tengah masyarakat.
Iduladha bukan sekadar hari raya yang diwarnai dengan gema takbir dan aroma daging kurban. Ia adalah momen refleksi spiritual sekaligus sosial, yang mengajarkan kita tentang arti ketaatan, pengorbanan, serta tanggung jawab sosial terhadap sesama. Melalui kurban, kita diajak untuk menumbuhkan empati, memperkuat ukhuwah, dan membangun masyarakat yang saling mendukung dan menguatkan.
Semangat dari ibadah kurban ini seharusnya terus hidup dan membekas, tidak hanya dalam bentuk daging yang dibagikan, tetapi juga dalam sikap hidup kita sehari-hari: lebih peduli, lebih ringan tangan, dan lebih tulus dalam menolong tanpa melihat latar belakang. Sebab pada akhirnya, ukuran kemuliaan di sisi Allah bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar manfaat yang kita berikan.