Oleh : Hanif Syairafi Wiratama
Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” karya Iwan Fals pertama kali dirilis pada tahun 1987, namun hingga kini masih terus menggema sebagai suara hati rakyat yang kecewa dan marah terhadap wakilnya di parlemen. Dalam konteks Indonesia 2025, lagu ini kembali relevan, terutama dengan munculnya kebijakan-kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam bulan-bulan awal masa kepemimpinannya.
Lirik lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” berisi satire yang kuat dan pahit terhadap anggota DPR yang dianggap hanya mementingkan kekuasaan dan lupa akan janji kampanye. Lagu ini menyebut bagaimana wakil rakyat hidup nyaman, sementara rakyat harus berjuang dalam penderitaan. Iwan Fals dengan lantang menyanyikan:
“Apakah mereka lupa suara-suara yang memilih mereka?”
Kalimat ini bukan hanya kritik, tapi juga tamparan moral bagi pejabat publik yang terputus dari akar rakyat.
Lagu ini diciptakan sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap hegemoni kekuasaan yang cenderung anti-kritik. Iwan Fals, dengan nada sarkastik namun jujur, menunjukkan bagaimana demokrasi tanpa kontrol rakyat bisa berubah menjadi oligarki terselubung. Di era Orde Baru, lagu ini dibungkam. Kini, di era demokrasi yang lebih terbuka, lagu itu hidup kembali karena substansinya belum berubah: wakil rakyat yang dipilih justru menjauh dari rakyat.
Harapan dan Realitas
Setelah resmi dilantik sebagai Presiden RI pada Oktober 2024, Prabowo memulai masa kepemimpinannya dengan berbagai keputusan strategis. Namun, dalam waktu kurang dari enam bulan, beberapa kebijakan utamanya menuai reaksi keras dari masyarakat dan akademisi.
1. Pemotongan Anggaran Besar-besaran
Melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, Prabowo memerintahkan pemotongan anggaran negara sebesar Rp306,7 triliun. Langkah ini disebut sebagai bagian dari efisiensi anggaran, namun efek dominonya dirasakan masyarakat bawah. Salah satu sektor yang terdampak adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang dipangkas dari Rp110 triliun menjadi hanya Rp29 triliun.
Kritik muncul karena pemotongan anggaran dilakukan tanpa strategi penyeimbang yang jelas, apalagi untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk menutup kekacauan fiskal, bukan sebagai reformasi struktural.
2. Kenaikan Pajak PPN Menjadi 12%
Kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% mulai berlaku awal 2025. Walaupun dasar hukumnya mengacu pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kenaikan ini dinilai tak tepat waktu. Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih terpukul pasca pandemi dan inflasi global, kebijakan ini justru menambah beban biaya hidup.
Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 67% masyarakat kelas menengah ke bawah merasakan dampak langsung dari kenaikan PPN. Barang-barang kebutuhan pokok ikut naik harga, dan daya beli rakyat menurun drastis.
Ketidakpekaan Elit
Bukan hanya presiden, sejumlah menteri pun menjadi sorotan publik karena berbagai kebijakan dan sikap yang dianggap tidak pro-rakyat.
1. Kasus Gas Elpiji 3 Kg
Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang mewajibkan KTP saat pembelian elpiji 3 kg menuai polemik. Di banyak daerah, terjadi antrean panjang dan kelangkaan tabung gas. Bahkan di NTT, seorang nenek dilaporkan meninggal dunia setelah terlalu lama antre (Kompas, 2025).
Alih-alih mengevaluasi, Bahlil menyebut masalah itu sebagai “adaptasi sistem”. Publik menganggap ini bentuk ketidakpekaan terhadap realitas rakyat miskin yang sangat bergantung pada gas bersubsidi.
2. Anggaran Kemenkumham Rp20 Triliun
Menteri Hukum dan HAM Natalius Pigai juga membuat kontroversi dengan mengusulkan anggaran Rp20 triliun untuk penguatan birokrasi dan digitalisasi hukum. Publik mempertanyakan urgensi anggaran sebesar itu di tengah pemangkasan dana pendidikan dan kesehatan.
Gelombang kekecewaan rakyat tak lagi hanya muncul di media sosial, tetapi juga turun ke jalan. Pada Maret 2025, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar melakukan unjuk rasa menolak kenaikan PPN dan pemotongan anggaran IKN. Mereka membawa poster dengan kutipan lirik Iwan Fals:
“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”.
Demonstrasi ini menunjukkan bahwa lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” telah menjadi simbol budaya perlawanan yang terus hidup di berbagai generasi.
Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” bukan hanya warisan budaya, tetapi juga cermin bagi para penguasa. Dalam konteks pemerintahan Prabowo 2025, lagu ini kembali menunjukkan relevansinya sebagai alarm moral. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elit politik, lirik-lirik Iwan Fals terasa seperti prediksi yang sedang terjadi hari ini.
Jika pemerintah dan wakil rakyat tak segera mengubah orientasi kebijakan menjadi lebih berpihak pada rakyat, maka jurang ketidakpercayaan akan terus melebar. Dan saat itu terjadi, bukan hanya lagu Iwan Fals yang akan kembali dinyanyikan di jalanan, tapi juga gelombang perubahan yang lebih besar akan menuntut pertanggungjawaban.