Asal-usul Bahasa dan Makna
Salah satu istilah yang menarik perhatian dalam diskursus keislaman adalah penggunaan kata “al-Masih” yang disematkan pada dua sosok yang sangat bertolak belakang: al-Masih Isa putra Maryam, dan al-Masih ad-Dajjal. Keduanya sama-sama disebut dalam Al-Qur’an dan hadis, tetapi dengan konotasi yang sangat berbeda. Lalu, mengapa keduanya sama-sama disebut al-Masih?
Secara etimologis, kata al-Masih (المسيح) berasal dari akar kata Arab masaha yang berarti mengusap, menghapus, atau pergi. Dalam konteks lain, menurut sebagian ulama bahasa, istilah ini diserap dari bahasa Ibrani “al-Masyih” (dengan huruf syin) yang berarti “yang diurapi” atau “yang diberkahi.” Dalam tradisi Yahudi, gelar ini diberikan kepada para raja atau tokoh spiritual yang diurapi dengan minyak dalam upacara khusus sebagai simbol kekuasaan dan legitimasi.
Rasyid Rida mencatat bahwa kata al-Masih juga merujuk pada makna kerajaan. Dalam tradisi Ibrani, seseorang disebut Mashiah ketika diangkat sebagai raja melalui prosesi pengurapan. Karena itu, mereka menyebut kerajaan dengan istilah al-Mashu dan raja sebagai al-Masih.
Dengan demikian, makna kata al-Masih sangat bergantung pada konteks penggunaannya. Ia bisa berarti sosok yang penuh berkah dan membawa kebenaran, atau sebaliknya, sosok yang menyesatkan dan penuh tipu daya.
Al-Masih Isa AS, Sosok Pembawa Kebenaran
Dalam Al-Qur’an, Nabi Isa disebut dengan gelar al-Masih sebanyak delapan kali, di antaranya pada surah Ali-Imran (3): 45, An-Nisa (4): 157-172, Al-Maidah (5): 17-75, dan At-Taubah (9): 30. Dalam surah Ali-Imran, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Maryam tentang kelahiran anaknya:
“Namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” [Q.S. Ali Imran: 45]
Menurut Lisan al-‘Arab, gelar al-Masih bagi Isa disematkan karena keistimewaannya: ia mengusap orang sakit dan atas izin Allah, mereka sembuh. Ia juga dikaitkan dengan kejujuran, kebaikan, dan posisi spiritual tinggi.
Dalam hadis sahih, Rasulullah saw menyebut Isa akan turun kembali ke bumi di akhir zaman, menegakkan keadilan, mematahkan salib, membunuh babi, dan menghapuskan kekacauan yang ditinggalkan oleh Dajjal. Peran ini mengukuhkan gelar al-Masih sebagai sosok pembawa kebenaran dan keadilan.
Al-Masih ad-Dajjal, Sosok Pendusta
Berbeda dengan Isa, gelar al-Masih ad-Dajjal disematkan pada sosok yang disebut dalam ratusan hadis sebagai fitnah terbesar akhir zaman. Kata Dajjal sendiri berarti “pendusta besar,” dan ketika digabung dengan kata al-Masih, maknanya menjadi sangat kontras dengan Isa.
Dalam banyak hadis, Rasulullah saw mengajarkan umat Islam untuk memohon perlindungan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [H.R. Muslim]
Dajjal digambarkan sebagai sosok yang mampu menipu manusia dengan keajaiban dan tipu daya, hingga banyak orang tersesat karenanya. Dalam Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa Dajjal disebut al-Masih karena salah satu matanya buta—atau karena ia berkeliling dunia untuk menebar fitnah.
Dua Al-Masih, Simbol Kebenaran dan Kebatilan
Jika ditilik dari maknanya, gelar al-Masih bukanlah istilah yang secara otomatis membawa nilai positif atau negatif. Ketika disandarkan kepada Isa, al-Masih bermakna keberkahan, kebenaran, dan penyembuhan. Namun ketika disandarkan kepada Dajjal, al-Masih bermakna tipu daya, dusta, dan fitnah akhir zaman.
Perbedaan makna ini sangat penting untuk dipahami, agar umat tidak terjebak dalam kesamaran istilah. Dalam sebuah syair Arab disebutkan:
“Idza al-Masih yaqtulu al-Masih” – Ketika al-Masih (Isa) membunuh al-Masih (Dajjal).
Syair ini menjadi simbol puncak pertarungan antara kebenaran dan kebatilan di akhir zaman, di mana Isa akan kembali sebagai penegak keadilan, menghancurkan simbol-simbol kebatilan yang dibawa oleh Dajjal.
Kata al-Masih mengandung makna yang sangat dalam dan kompleks dalam Islam. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks penggunaannya. Ketika merujuk pada Nabi Isa, ia adalah gelar kehormatan dan berkah ilahiah. Namun ketika disandarkan pada Dajjal, ia menjadi simbol kehancuran, fitnah, dan kebohongan.
Dengan memahami keduanya secara utuh, umat Islam diajak untuk lebih bijak dalam membaca teks keagamaan, sekaligus meningkatkan kewaspadaan terhadap segala bentuk penyimpangan, sembari terus memohon perlindungan kepada Allah dari fitnah terbesar akhir zaman.