Pada suatu malam di tahun 2018, di atas panggung musik yang penuh lampu dan sorak penonton, band alternatif .Feast memperdengarkan sebuah karya yang tak sekadar hiburan. Lagu itu berjudul Peradaban. Bukan sekadar kombinasi nada dan lirik, Peradaban hadir seperti seruan darurat seakan memantulkan detak nadi zaman dan menyibak keruhnya realitas sosial kita. Kini, di tengah derasnya arus informasi digital, polarisasi politik, dan krisis etika publik, gema lagu ini justru semakin relevan. Ia seperti pantulan cermin yang menuntut kita untuk tidak hanya berkaca, tetapi juga bertindak.
Lagu ini bukan pesta suara yang riuh tanpa isi. Ia adalah kritik tajam, dibalut nada yang kuat namun mudah diikuti telinga awam. Dari awal lirik, Peradaban langsung merangsek masuk: “Tempat ibadah terbakar lagi… Nama kita diinjak lagi.” Bait yang singkat, namun meninggalkan luka. Ia mengingatkan kita pada rentetan kekerasan dan intoleransi yang terus menghantui negeri ini, dari tragedi bom rumah ibadah hingga gesekan antar kelompok yang mengoyak tenun kebangsaan. Lirik itu seperti jari tengah yang diacungkan kepada wajah kemunafikan moral dan siklus kekerasan yang kita biarkan terus berulang.
Kritik Sosial dari Panggung Musik
Band .Feast lahir dari atmosfer kampus Universitas Indonesia, membawa semangat musik akar rumput yang tak ragu bicara blak-blakan. Mereka menulis lirik yang langsung mengarah pada inti masalah tidak bersembunyi di balik metafora rumit, tetapi tetap menjaga kekuatan artistiknya. Saat masyarakat sudah muak dengan basa-basi politik dan berita yang manis di permukaan, Peradaban hadir sebagai teriakan yang jujur. Ia mengekspresikan kekhawatiran, kemarahan, dan meski samar secercah harapan bagi sebuah bangsa yang retak karena politik identitas dan intoleransi.
Ketika Frontal Justru Jadi Pintu Dialog
Nada vokal Baskara Putra dalam Peradaban tak ragu meninggi. Gaya sarkastik dan seruan keras yang keluar dari setiap bait memang kadang terdengar provokatif, bahkan ofensif bagi sebagian orang. Namun, penelitian resepsi khalayak menunjukkan bahwa mayoritas pendengar memahami ini sebagai bagian dari urgensi zaman. Kritik keras justru menjadi pembuka dialog memaksa orang untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah ini yang sedang kita hadapi?” Dalam konteks ini, Peradaban bukan sekadar teriak kosong. Ia adalah paku yang sengaja dipasang di tengah jalan agar kita berhenti, melihat sekeliling, dan menyadari lubang-lubang di jalan itu.
Menggugat Amnesia Kolektif
Salah satu kekuatan lagu ini adalah kemampuannya memotret “amnesia kolektif” bangsa penyakit sosial ketika kita lupa akan identitas dan nilai dasar yang dulu kita junjung. Liriknya memukul realitas: bahwa kemajuan tak hanya diukur dari kilauan gedung pencakar langit atau kecanggihan teknologi, tetapi dari seberapa berani kita mempertahankan pluralisme dan kemanusiaan. Peradaban menegur bahwa fondasi ini kini rapuh, retak di sana-sini, dan nyaris terlupakan dalam kebisingan debat politik atau drama media sosial.
Di Zaman Digital, Lagu Menjadi Manifesto
Menariknya, Peradaban bukan hanya hidup di panggung musik. Ia kerap muncul kembali di dunia digital menjadi latar video protes, kolase visual berita, atau bahkan meme bernuansa kritik sosial. Di TikTok, Instagram, hingga Twitter, lagu ini diputar ulang sebagai penanda amarah kolektif ketika isu intoleransi atau perpecahan mencuat. Di sini, Peradaban bertransformasi menjadi manifesto digital: sebuah medium yang mempersenjatai warga untuk menyuarakan keresahan tanpa harus berada di garis depan demonstrasi.
Nada yang Mengusik Kesadaran
Secara estetika, Peradaban tidak menawarkan kemerduan pop yang manis. Melodinya lebih menyerupai dentuman yang terus menghantam, seperti palu memukul besi panas. Inilah daya tariknya. Ia bukan untuk memanjakan telinga, melainkan untuk mengusik pikiran. Ibarat paku dalam sepatu tidak nyaman, tetapi justru membuat kita sadar ada yang salah dengan langkah kita. Lagu ini menegaskan bahwa peradaban bukanlah benda mati yang bisa kita tinggalkan di rak sejarah. Ia hidup, dan harus terus dirawat.
Bunyi yang Menjaga Identitas
Di tengah gempuran jargon, tagar, dan seremoni peringatan yang kadang terasa hampa, Peradaban hadir sebagai pengingat bahwa identitas bangsa tak hanya dibentuk oleh narasi indah di atas kertas, tetapi juga oleh keberanian menghadapi kenyataan pahit. Lagu ini berperan sebagai suara alternatif mengguncang rasa nyaman dan mengajak kita untuk kembali pada nilai dasar kemanusiaan.
Ketika kita mendengarkan kembali Peradaban, pertanyaannya bukan sekadar “apakah lagu ini enak didengar?” tetapi “apakah kita sudah cukup peduli untuk melakukan sesuatu?” Karena pesan terbesar lagu ini justru berada di luar musiknya pada gerak nyata yang diilhami setelahnya.
Di akhir, Peradaban meninggalkan gema yang tak mudah padam. Ia tidak menawarkan solusi instan, tetapi menanam benih kegelisahan yang sehat. Dalam sebuah bangsa yang sedang berlari mengejar modernitas, lagu ini mengingatkan bahwa kita bisa saja memenangkan lomba, namun kehilangan jiwa. Kemajuan sejati bukan hanya soal ekonomi dan teknologi, tapi juga keberanian menjaga kemanusiaan.
Saat Anda mendengar liriknya lagi di jalan, di kamar, atau di tengah keramaian tanyakan pada diri sendiri: sudah berapa lama Anda diam, sementara peradaban berteriak minta diselamatkan?