Hijrah dari segi bahasa berarti perpindahan, sedangkan secara istilah hijrah merujuk pada kisah Nabi Muhammad saw. bersama para sahabat meninggalkan Kota Makkah menuju Yastrib (sekarang Madinah) untuk menghindari kaum musyrik yang berniat jahat kepada Nabi Muhammad saw. Peristiwa ini pula yang menjadi siklus (pengulangan) tuturan sejarah ketika menjelang awal tahun Hijriah.
Ada fenomena simplifikasi makna (penyederhanaan makna) dan pembatasannya pada ruang lingkup yang sangat sempit. Hijrah hanya dipahami sebagai peristiwa sejarah yang diulang-ulang untuk menjadi refleksi historis (kesadaran akan sejarah Nabi) tanpa menggali lebih dalam nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung dalam peristiwa tersebut.
Sedangkan dalam definisi lain, hijrah dimaknai sebagai perubahan diri seorang Muslim dari sikap dan simbolisasi identitas, seperti peralihan sikap dari premanisme (perampok/pemeras) menjadi religius (bersikap keagamaan) dalam bersosialisasi dengan masyarakat Muslim dan masyarakat pada umumnya.
Di Indonesia, pendangkalan makna hijrah seperti yang diterangkan di atas menjadi sangat dominan di tengah masyarakat Muslim. Hingga pada akhirnya, hijrah yang sebenarnya adalah motivasi spiritual (dorongan atas kehendak jiwa yang suci) untuk beralih dari perilaku yang tidak baik menjadi baik dalam definisi yang luas sehingga terbentuk kualitas diri seorang Muslim sejati menjadi terabaikan.
Sedikit dari mayoritas Muslim di Indonesia yang meredefinisi ulang (memaknai ulang) hijrah dari sekadar narasi historis (cerita peristiwa sejarah). Padahal, ketika semua umat Islam mampu mendefinisikan ulang makna hijrah dengan pandangan yang luas, hijrah menjadi bagian dari way of life (pandangan atau cara hidup) seorang Muslim, sebagai huda (petunjuk jalan) menuju kebenaran dan kesempurnaan. Hal ini banyak disinggung di dalam Al-Qur’an, misalnya:
Pertama, dalam Surah Al-Baqarah Ayat 218 Allah berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kedua, dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Artinya: Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dari kedua ayat di atas, jelas bahwa hijrah dan jihad perlu dimaknai sebagai dua kata yang saling terkait dalam makna dan fungsinya. Hijrah adalah dorongan untuk perbaikan diri dari yang sebelumnya buruk menjadi lebih baik, dan terus bertahan sebagai proses jihad (berjuang) di jalan kebenaran (jalan Allah) semata-mata untuk mengharapkan keridaan-Nya.
Artinya, dalam proses hijrah tentu ada banyak tantangan. Misalnya, seorang yang benar-benar ingin keluar dari lingkaran hitam para koruptor dan berusaha memperbaiki diri menjadi pelayan masyarakat yang bersih dan berintegritas pasti akan dihadapkan pada berbagai bentuk tekanan. Oleh sebab itu, ketika seseorang benar-benar ingin memperbaiki diri dan keluar dari situasi tersebut, ia harus benar-benar berjihad (bersungguh-sungguh) untuk konsisten agar tidak mudah goyah atau terpedaya berbagai bujuk rayu tindakan melawan hukum.
Sedangkan dalam ayat yang lain di atas, Allah menerangkan dengan sangat jelas bahwa ada makna yang terkandung dalam peristiwa sejarah antara kaum Muhajirin dan Ansar, yaitu nilai-nilai empatik (kepekaan sosial), yakni saling membantu orang lain yang lebih membutuhkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Ini adalah nilai dasar ajaran Islam.
Inilah pemaknaan yang lebih mendalam dari kata hijrah. Hijrah perlu dipandang sebagai benteng moral agama dalam menjaga integritas seseorang, termasuk dalam melayani masyarakat. Hijrah tidak hanya berhenti pada pemotretan sejarah Nabi dan sahabat ketika pindah dari Makkah ke Kota Madinah.
Maka dari itu, redefinisi hijrah di atas dengan mengambil unsur intrinsik (paling dalam) dari definisi dan aksiologinya (penerapannya) membuat Islam tidak berhenti hanya pada persoalan ibadah individual yang berdampak pada peralihan dari kurang ibadah menjadi gemar ibadah, dari kafir menjadi Muslim (mualaf), atau dari tidak mengenakan jilbab/hijab menjadi tertutup berhijab bagi seorang perempuan (Muslimah).
Selain itu, fenomena penyempitan makna hijrah banyak menyasar anak-anak muda Islam di Indonesia, sejak istilah gerakan Pemuda Hijrah menjadi populer, yang ditandai dengan hadirnya dai-dai kondang seperti Ustaz Hanan Attaki, Ustaz Derry Sulaiman, dan lain-lain. Sehingga gerakan atas pemaknaan sempit dari kata hijrah menjadi lebih masif di tengah masyarakat, termasuk di kalangan Generasi Z.
Aksentuasi (penekanan) atas situasi ini adalah kiranya anak muda Muslim Indonesia, khususnya yang ada di Kepulauan Sangihe, perlu memperkaya literasi keislaman dan membuka cakrawala keislaman agar tidak terhimpit dalam pemaknaan agama yang hanya menyeret umat Islam untuk berhenti pada ibadah yang bersifat personal dan simbolis semata. Mereka perlu mencoba keluar dari himpitan pemaknaan sempit di atas dan menemukan tawaran baru atas pemahaman yang lebih progresif dan kompatibel dengan situasi dan kondisi umat Islam dewasa ini.
Fastabiqul Khairat
Wassalam…