Senja di Jakarta kian kelabu, lampu kota mulai berkedip. Seorang pemuda melongok ke layar gawai. Di depan matanya, adegan mesra tawa simpul, genggaman tangan tidak lagi mengejutkan. Bukan pasangan suami-istri, melainkan dua hati yang “jalan dulu”, menurut narasi modern, “sebelum memastikan rasa.” Tapi menurut Muhammadiyah, ini sudah terlalu dekat dengan zina yang jelas dilarang dan membawa konsekuensi.
Zina Itu Apa? Penegasan Muhammadiyah
Menurut artikel di situs resmi Muhammadiyah, zina secara bahasa berarti persetubuhan antara pria dan wanita tanpa ikatan nikah. Syariat Islam menggolongkan zina sebagai jarīmah, bukan hanya dosa biasa: ini “perbuatan yang keji” dan merusak tatanan sosial, akal, akhlak, agama, serta nasab keturunan kesemua tujuan syariat itu sendiri.
Dalam tulisan tersebut disebutkan:
“Zina adalah tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan moral, sosial, dan perwujudan atas kemuliaan manusia.”
Penegasan ini tidak hanya retoris: Muhammdiyah menempatkan zina sebagai pelanggaran serius yang harus dipahami secara mendalam, bukan sekadar dihukum atau dilarang.
Bagi Muhammadiyah, peringatan terhadap zina bukanlah warisan moral usang, melainkan prinsip perlindungan terhadap martabat manusia. Dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an terbitan Majelis Tarjih, QS. Al-Isra ayat 32 dikaji secara komprehensif:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Majelis Tarjih menggarisbawahi kata la taqrabu (jangan mendekati) sebagai indikasi bahwa Islam tidak hanya melarang zina secara fisik, tetapi juga segala interaksi, media, dan sistem yang memudahkan terjadinya zina.
Dr. Fathurrahman Kamal, Wakil Ketua Majelis Tarjih, dalam sebuah wawancara di tvMu, menekankan bahwa pembiaran terhadap perilaku yang mengarah ke zina adalah “bom waktu moral”. Ia menyebut, “Kalau rasa takut kepada Allah sudah hilang, maka hukum dan norma sosial tak lagi punya daya menahan.”
Normalisasi Zina di Era Digital
Namun, di zaman digital ini, apa yang dulu dianggap tabu kini malah rutin dipertontonkan. Riset global menunjukkan bahwa konten intim pranikah menguasai ekosistem media sosial dengan kata “love” dan “relationship” mendominasi tagar TikTok dan Instagram. Pemuda-pemudi kita lebih banyak menghabiskan waktu menonton drama romantis tanpa akhir ketimbang mengikuti kajian moral. Budaya “jalan dulu, cinta makin dalam” menyelinap ke dalam narasi modern, seringkali menutupi risiko nyata: kehamilan di luar nikah, frustasi emosional, perasaan hampa spiritual.
Dokumen Muhammadiyah menggarisbawahi: zina bukan sekadar masalah individu, tetapi penyakit sosial yang bisa melemahkan institusi keluarga dan merusak moral anak. Sehingga memandangnya sebagai urusan pribadi adalah pandangan yang terlalu dangkal dan berisiko.
Mengapa Tak Lagi Ditakuti?
Fenomena ini terjadi bukan karena agama ditinggalkan, melainkan karena nilai malu dan takut itu sendiri redup. Ibn Qayyim al-Jawziyyah pernah mengatakan bahwa hati yang lemah akan membuat dosa terasa ringan sama seperti mencabut rasa sakit dari luka, hanya tersisa luka yang terus menganga. Sekarang, masyarakat lebih takut jika adegan mesra mereka diributkan di media ketimbang takut kepada dosa itu sendiri. Dosa yang dulu disebut keji dan tercela, kini didefinisikan ulang sebagai “ruang eksplorasi diri”.
Menjaga Batas Bukan Anti-Cinta, tapi Cinta Seutuhnya
Muhammadiyah menyatakan: membangun rasa cinta tidak perlu menukar kehormatan moral. Artikel resmi mengingatkan bahwa Islam mensyariatkan pernikahan sebagai kendaraan legitimasi cinta dan keintiman bukan pacaran atau hubung bebas. Dari sini lahir prinsip: “Cintai dia dalam bingkai yang diridhai Allah dan masyarakat.”
Hubungan yang dimulai dengan tanggung jawab, penghormatan, dan kejelasan status tidak hanya lebih berkah, tetapi menghindarkan semua pihak dari luka batin dan bahaya sosial.
Solusi Muhammadiyah dalam Praktik
Muhammadiyah tak hanya bicara di atas kertas. Melalui Majelis Dikdasmen, mereka memandang urgentnya pendidikan seks islami sejak dini, yang menanamkan pemahaman: kehormatan diri lebih besar daripada dorongan biologis.
Lewat Lembaga Informasi dan Komunikasi, narasi dakwah dioptimalkan melalui konten digital video singkat, podcast, artikel yang merangkul generasi digital tanpa kehilangan nilai moral.
Mereka mendesain program komunitas seperti “Pacaran Islami Tanpa Zina” yang dijalankan oleh PDM dan Aisyiyah, menyediakan ruang diskusi, konseling, dan mentorship bagi para remaja dan pasangan muda.
Menghidupkan Kembali Rasa Malu kepada Allah
Muhammadiyah mengajak agar rasa malu (al-hayāʾ) dan takut pada dosa dibangkitkan kembali. Bukan untuk menakuti dengan sanksi dunia, tetapi untuk menyadarkan diri akan keberadaan Allah yang Maha Mengawasi.
Sebagaimana dituliskan:
“Zina adalah pintu rusaknya moral dan peneduh bagi kematian jiwa.”
Jika hati dipenuhi korkot dan hasrat tanpa kontrol, siapa sangka, dosa bisa jadi dianggap wajar bahkan dibaca sebagai tanda cinta sejati.
Menutup Cerita
Zina yang tak lagi ditakuti bukan karena gegabah, tapi karena pendidikan moral kita belum cukup kuat untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri generasi sekarang. Muhammadiyah menawarkan jalan: bukan pelarangan kaku, tapi pendampingan penuh edukasi, empati, dan penguatan spiritual.
Jika norma runtuh, bukan hanya individu yang terserang, tetapi masyarakat dan agama yang kehilangan wibawa. Menjaga moral bukan berarti mengekang cinta, melainkan memuliakan cinta dalam bingkai kesucian moral itulah semangat Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah.
Jika masyarakat terus menganggap zina sebagai urusan privat, maka kita sedang menanam benih masalah sosial besar: anak-anak tanpa identitas ayah, kekerasan dalam hubungan, hingga runtuhnya kepercayaan dalam institusi keluarga. Muhammadiyah menegaskan bahwa larangan zina adalah bentuk rahmat dari Allah, bukan sekadar pembatasan. Ia melindungi kehormatan, menenangkan hati, dan menjaga masyarakat dari kerusakan.
Di tengah arus normalisasi perilaku bebas, panggilan itu masih sama: jauhi zina, meski dunia menganggapnya biasa. Karena dalam pandangan Islam, kemuliaan manusia tidak diukur dari kebebasan tanpa batas, melainkan dari kemampuannya menjaga diri di hadapan godaan.























